Kajian Tematik (2)

Sunday, November 30, 2008


Menyibak Lorong Gelap Filsafat*
Oleh: Moh. Luthfi al-Anshori

Bagi sebagian (kebanyakan?) orang, membincang filsafat adalah hal yang rumit nan membosankan. Jangankan untuk mempelajari, bahkan hanya mendengar kata “filsafat” diucapkan saja muak. Dan, pada tahap selanjutnya mereka dihinggapi phobia dan skeptisisme yang berlebihan, hingga semena-mena mengatakan bahwa filsafat itu haram, kotor lagi menyesatkan.

Bisa jadi persepsi semacam ini muncul karena menurut mereka, filsafat adalah disiplin keilmuan yang membingungkan, sesuatu yang complicated, relatif, tak bermanfaat, hanya membuang waktu dan pikiran untuk mempelajarinya. Bertolak dari pengalaman pribadi penulis, ternyata memang masih banyak sekali para akademisi yang enggan bahkan sangat sulit untuk mau memahami dan mempelajari filsafat. Sebuah fakta empiris yang ironis.

Perhelatan Panjang Filsafat

Sebuah perhelatan sengit nan panjang tak berkesudahan. Begitulah filsafat! Ia bagaikan lorong gelap yang pengap. Tak banyak orang yang bisa survive ketika telah masuk ke dalamnya. Ada yang gila, ada yang murtâd, namun ada pula yang justru bercahaya. Melalui olah pikir yang cemerlang, mereka mampu menerobos lorong itu, menyibak gelap, melalui rintangan, berjibaku dengan kerumitan-kerumitan teori yang dibuat oleh manusia sendiri.

Contoh nyata keberadaan orang-orang yang survive itu dapat kita temukan dalam berbagai literatur filsafat. Sebut saja Socrates, salah seorang yang diduga pencetus awal terma filsafat (meskipun masih ada perselisihan pendapat tentang hal itu). Ia dikenal sebagai sosok yang tawâdhu’. Karena sumbangsih pikirannya yang cukup banyak, ia menjadi dikenal oleh masyarakat kala itu. Namun ia tidak sombong dengan mengatakan dirinya adalah seorang filosof (baca: hakîm). Sebab menurutnya yang memiliki “hikmah” hanyalah Tuhan. Maka ia lebih suka menyebut dirinya “muhib li al-hikmah”.

Berangkat dari sikap Socrates di atas, muncul sebuah pertanyaan retoris dari penulis: jika ternyata berfilsafat atau berpikir secara filosofis dapat menjadikan seseorang lebih arif dan tawâdhu’, lalu kenapa banyak yang tersesat? Atau dalam waktu yang sama banyak yang mengklaimnya sebagai jalan sesat? Silahkan Anda fikirkan masing-masing jawabannya!

Selanjutnya, mari kita melihat sample lain yang bisa kita jadikan figur filosof “cemerlang”. Adalah Ibnu Sina, yang di tangannya filsafat paripatetik (yang konon telah digagas al-Farabi) memasuki masa keemasan. Bertolak dari sinilah filsafat menjadi salah satu faktor penentu budaya serta ilmu-ilmu lainnya. Melihat aksi dan sepak terjang Ibnu Sina dalam bidang filsafat maupun disiplin kelimuan lainnya, para Ulama Islam kala itu menjadi semakin tertantang. Sayangnya, mereka cenderung menganggap argumentasi-argumentasi falsafi bak pondasi bangunan yang rapuh. Mereka berpegang teguh bahwa jalan terbaik dan satu-satunya untuk mencapai kebenaran hakiki adalah melalui proses pembersihan hati (tazkiyyah al-nafs) dan ibadah. Filsafat, menurut mereka, hanyalah akan menjauhkan manusia dari jalan yang sebenarnya.

Terkait dengan hal ini kiranya perlu dicatat, bahwa oleh sebagian Ulama, seperti halnya al-Ghozali dan Fakhruddin al-Razi, Ibnu Sina dianggap telah melenceng dari ajaran Islam. Bahkan, para teolog muslim mengatakan bahwa apa-apa yang diungkapkan oleh para filosof Islam banyak bertentangan dengan ajaran al-Qur`an dan Sunnah Rasul. Hal itulah yang nampaknya mempengaruhi al-Ghazali untuk menulis sebuah karya berjudul “Tahâfut al-Falâsifah”, yang banyak mengkritik pemikiran Ibnu Sina. Tak hanya mengkritik, Ghozali bahkan sampai pada tahap mengkafirkan beberapa pandangan Ibnu Sina yang dianggapnya menyimpang dari ajaran Islam.

Dan begitulah perhelatan filsafat (Islam) terus bergulir. Setelah al-Ghozali hadirlah al-Razi yang juga melakukan kritik senada terhadap filsafat paripatetik serta berbagai ajaran filsafat hasil terjemahan dari buku-buku Yunani. Namun terlepas dari “tuduhan” bahwa Ibnu Sina telah melenceng dari Islam akibat filsafat, perlu kiranya kita membaca data lain bahwa Ibnu Sina adalah seorang filosof Islam yang “selamat” secara iman dan akidah. Dalam kitab “Turâtsuna al-Falsafi; Hâjatuhu ila al-Naqdi wa al-Tamhîshi” karya Muhammad Ridla al-Syabîbi, kita dapat menemukan bahwa Ibnu Sina memiliki sebuah karya berjudul “al-Khithab wa al-Tamjîdât” atau dalam referensi lain disebut “al-Khitab al-Tauhîdiyyah”. Adalah sebuah buku berisi do’a-do’a atau pujian-pujian khusus dengan menggunakan asâlib (susunan kalimat) khas para filosof. Baris-baris kalimat yang (mungkin) tidak dipahami oleh masyarakat umum (karena tidak populis).

Sebagaimana diriwayatkan oleh seorang muridnya, al-Jurjani, ketika menceritakan biografi Ibnu Sina, ia mengatakan bahwa gurunya (Ibnu Sina) sering meminta pertolongan kepada Tuhan ketika dihadapkan pada sebuah persoalan besar dan rumit melalui jalur sholat. Ibnu Sina juga disebutkan sempat menuliskan tafsir (penjelasan) tentang beberapa surat pendek al-Qur`an (seperti surat al-Ikhlash dan al-Falaq), serta berbagai ulasan lainnya terkait trik-trik ketika berdo’a agar diterima dan dikabulkan.

Sekelumit data di atas, setidaknya menceritakan kepada kita bahwa Ibnu Sina pun masih mengimani sholat (yang notabene merupakan salah satu pilar Islam) sebagai kendaraan menuju pencerahan. Meskipun, patut disadari bahwa perdebatan para pakar tentang syakhshiyyah (pribadi) Ibnu Sina masih terus berlanjut. Lalu, bagaimana dengan kita?

Diakui atau tidak, filsafat terbukti mampu mempertahankan eksistensinya. Ia menjadi sebuah disiplin yang terus berjalan, dinamis, tidak mandeg apalagi hilang. Justru ia semakin menjulang meski badai tak jarang menerpa dari berbagai sisi. Tak hanya di Barat, bahkan di Timur, filsafat Islam kembali hidup, setelah beberapa saat mengalami vacum akibat “agresi militer” bertubi-tubi dari kalangan teolog Islam. Hal itu ditandai dengan kemunculan Ibnu Bajah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd. Adapun sepak terjang dari ketiga tokoh tersebut mungkin tidak akan dibahas di sini, karena keterbatasan ruang dan waktu.

Sebagai kesimpulan awal pada ruas ini, penulis membayangkan bahwa filsafat adalah sebentuk pohon yang kokoh. Akar-akarnya tertancap kuat di kedalaman bumi, sehingga ia tak goyah dalam perhelatan sengit melawan angin dan badai. Meskipun banyak yang “membenci”nya, namun ia bagai manusia berhati baja yang tegar menatap dunia. Sebab, menurutnya (filsafat) ia ada justru karena dunia masih ada. Ia baru akan hilang ketika hamparan bumi telah digulung oleh Sang Pencipta, hingga Rakib-Atid menutup bukunya.

Dari Teori Menuju Aplikasi

Sejenak menyimak berbagai kasus di atas, setidaknya kita dapat mengambil sebuah antitesis, bahwa oleh sebagian kalangan, filsafat dipandang sebagai disiplin keilmuan yang tak memberi kontribusi berarti bagi kemakmuran hidup manusia. Menurut mereka, “jabang bayi” filsafat hanyalah rentetan teori-teori rumit yang sulit dipahami. Filsafat tidak berorientasi memberikan pedoman hidup kepada manusia dalam tataran praksis. Walhasil, filsafat hanya berotasi di kawasan langit, begitu jauh dan tidak membumi. Jangankan untuk mengaplikasikannya, mempelajari teorinya saja susah. Dengan demikian, mereka menganggap bahwa filsafat justru merusak kebahagiaan manusia, destruktif! Juga, sebagian orang awam akan bertanya-tanya, apa wujud konkrit sumbangsih filsafat dalam peradaban manusia?

Baik, jika demikian pertanyaannya, kita perlu melakukan penjelajahan singkat ke belakang (flash back), napak tilas jejak filsafat. Dengan demikian, kita dapat memetakan sejauh mana tugas dan fungsi filsafat yang sebenarnya. Apakah memang benar ia hanya berkutat pada tataran teori-metafisis, ataukah ia mempunyai garapan konkrit yang praksis-aplikatif?

Jauh ke belakang, pada masa kemunculan filsafat Yunani, kita akan menemukan sisa-sisa peninggalan dua aliran filsafat terkemuka, teoretis oriented dan praksis oriented. Model pertama digawangi oleh Aristoteles yang mengorientasikan filsafat guna meraih kepuasan otak dan nalar, melalui jalan pencarian hakekat atas segala sesuatu. Tipe selanjutnya adalah yang menjadikan filsafat sebagai wasilah untuk dapat berprilaku dan beretika secara benar. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Socrates dan pengikutnya.

Lalu melangkah ke abad pertengahan, kita disuguhi berbagai peninggalan agung filsafat sebagaimana dicetuskan al-Farabi. Kali ini filsafat benar-benar dijadikan lokomotif guna mencapai tujuan mulia, merealisasikan kebahagiaan manusia. Aliran ini layaknya hasil sintesis dua aliran yang tak hanya mementingkan teori ataupun aplikasi saja, namun mensinergikan keduanya. Hasilnya, al-Farabi mampu mencetuskan berbagai postulat penting dalam rangka mewujudkan masyarakat madani yang dinamis dan “berkah”. Hal ini dapat kita temukan dalam beberapa karyanya, antara lain Ârâ`u Ahli al-Madînah al-Fâdhilah.

Kemudian sampailah kita pada abad modern, dimana jumhur filosof meyakinkan bahwa filsafat bukanlah sebuah entitas yang tak mengenal realita, hanya berputar-putar pada penalaran hampa, menyeret pengkajinya ke ranah maya dalam kesendirian yang menyingkirkan dari ramai dunia. Jika konon filsafat sempat difugurkan sebagai alat pemuas hasrat intelektual semata, kini filsafat ditempatkan sebagai “abdi” masyarakat. Ia berposisi sebagai sarana bagi masyaralat guna mewujudkan tatanan yang mapan.

Adapun hasil konklusi perjalanan singkat di atas, kita dapat merumuskan bahwa sejatinya, filsafat mempunyai dua arah tujuan; jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan terdekat filsafat adalah menemukan hakikat segala sesuatu (melalui berbagai teori dan metodologi). Sementara muara akhirnya adalah aplikasi dari berbagai teori tersebut dalam dunia aksi (prilaku).

Namun jika ada yang menyangkal: “Jikapun benar bahwa sejatinya filsafat ditujukan demi kebahagiaan manusia, kemakmurannya, juga demi memberikan perubahan mendasar dalam segi budaya dan mengantarkan pada peradaban maju, kenapa sejauh ini filsafat masih terkesan mandul?”

Siapa bilang?! Bahkan para sejarawan mencatat, bahwa tidak ada revolusi yang terjadi dalam bidang sosial-kemasyarakatan, agama, politik dan lain sebagainya, kecuali di baliknya ada filsafat. Atau, jikapun tidak para filosof langsung yang terjun dalam revolusi, setidaknya orang-orang yang dipengaruhi filsafatlah yang melakukan revolusi. Jadi, dalam hal ini filsafat telah menjadi spirit untuk melakukan perubahan menuju peradaban yang lebih luhur.

Apa yang Perlu Diambil dari Filsafat?

Dalam buku “Manhaju al-Bahtsi ‘inda al-Kindi”, Fatimah Isma’il menjelaskan bahwa, manfaat terbesar yang bisa kita ambil dari mempelajari filsafat dan sejarahnya adalah kita dapat mengetahui berbagai tahapan metodologi yang ditempuh oleh para filosof, sehingga mereka bisa sampai pada sebuah tingkatan, dimana hingga sekarang nama mereka tetap abadi. Meski telah beribu tahun raga mereka terkubur dalam tanah, namun ruh mereka seakan terus ada melingkupi alam intelektual generasi masa kini. Metodologi yang mereka hasilkan itulah yang dahulu mampu memberikan perubahan pada realita kehidupan sosial dan budaya masyarakat.

Maka tidak benar jika belakangan banyak kalangan berpandangan bahwa mengkaji pemikiran klasik hanya akan menyebabkan ketertinggalan (regresivitas). Bahkan, terkhusus bagi pengkaji filsafat, ia tak kan bisa lepas dari kerangka sejarah filsafat. Yang menarik bahwa, di sela-sela mengkaji filsafat, kita akan banyak menemukan hal ajaib dalam tubuh filsafat maupun pribadi para filosof. Apalagi jika kita jeli dan sabar menelusuri jejak filsafat, kita akan mendapati sebuah mata rantai berkesinambungan serta keterkaitan antar bagian di dalamnya, baik di masa lampau, sekarang dan hingga masa mendatang. Yang terpenting lagi dalam “membaca” filsafat bukan terletak pada obyek kajiannya, melainkan metode riset yang dipilih dan dipakai oleh tiap-tiap filosof dalam menjawab setiap fenomena.

Dengan demikian, bagi setiap pengkaji filsafat agar lebih memperhatikan segi metode dalam penyelesaian berbagai kasus. Sebab filsafat adalah usaha pencarian hakikat dalam berbagai hal. Oleh karena itu, setiap pencari kebenaran bebas menempuh jalan sesuai yang ia kehendaki, dengan beragam metode yang ia pilih sebagai kendaraan menuju tujuan.

Berhijrah dari Gelap

Sebagai loncatan sementara, karena penulis yakin perbincangan filsafat tak akan final jika hanya ditulis dalam beberapa lembar kertas, maka sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa kita tak pantas memandang sinis filsafat. Dengan ungkapan lain, kiranya tak adil jika kita hanya memfonis, sementara kita sendiri belum mencoba dan berusaha. Banyak orang skeptis atas sesuatu, namun dirinya sendiri justru diam seribu bahasa. Jika demikian, lalu bagaimana bisa menang? Lorong filsafat memang panjang, bak labirin yang licin. Namun jika menyerah sebelum bertanding, jika hanya mencibir tanpa mencicipi, itu sama halnya seperti pecundang. Vince Lombardi berkata: “Winner Never Quit and Quitters Never Win.”

Filsafat selamanya akan menjadi gelap jika kita masih menganggapnya gelap. Filsafat akan selalu abstrak jika kita hanya memandangnya dari kejauhan. Seperti halnya kita memandangi gurun pasir putih dari atas mobil. Di mata kita terlihat seperti ada haluan air, namun sebenarnya fatamorgana.

Lalu jika ada yang berkata: “Filsafat itu abstrak. Tidak ada jawaban yang pasti. Setiap orang punya ide sendiri-sendiri tentang persoalan filosofis, dan tak seorang pun dapat mengklaim bahwa ia memiliki kebenaran yang mutlak."

Statemen tersebut sangat umum. Banyak argumen filosofis yang memang abstrak, namun bukankah benar pula bahwa filsafat kadang-kadang sangat konkret dan juga praktis? Bahkan, penulis lebih cenderung mengatakan: jawaban yang “terang” terhadap sebagian besar pertanyaan filosofis terlalu banyak.

Dalam sejumlah kasus, gagasan filosofis sulit dipahami bukan karena terlalu abstrak, terlampau melayang jauh dari kehidupan kita sehari-hari, melainkan justru karena teramat konkret! Filsafat ada kalanya menyentuh sedemikian-dalam hal-hal yang tak terpahami oleh kita karena obyek pembahasan itu terlalu dekat dengan kehidupan kita. Pernahkah anda mencoba melihat mata kanan Anda dengan mata kiri Anda?

Sebagai pungkasan tulisan ini, penulis hendak berkata bahwa sejak kecil kita semua mungkin telah mendengar kalimat “filosofi”. Filosofi Petani, Filosofi Berdagang, Filosofi Memancing, Filosofi Bekerja dan filosofi-filosofi lainnya. Kalimat-kalimat itu sering kita dengar dari para guru, kiai, juga bapak-ibu dan kakek-nenek kita. Simpel dapat kita pahami bahwa maksud dari kata itu adalah hakikat, sesuatu (nilai) yang terletak di balik kata dan perbuatan. Sehingga ketika kita mengetahui hakikat dari segala sesuatu, kita akan mampu melaksanakan segala sesuatu itu secara bijak dan sesuai fitrah.

Maka kenapa kita harus terjebak di belantara filsafat yang sarat dengan teori, padahal sebenarnya kandungan filsafat mampu kita simplifikasikan sedemikian rupa? Filsafat tak sepenuhnya rumit, namun sebagian besar justru praktis-aplikatif. Tergantung bagaimana kita bisa memilah dan memilih! Maka, setelah sejenak melakukan “perkenalan” dengan filsafat, kita akan bisa menyibak lorong gelapnya. Jika masih bingung, mari kita lanjutkan perjalanan tak berujung. Karena ilmu Tuhan sungguh maha luas. Wallâhu a’lam![]

*Tulisan ini telah dimuat dalam Majalah Afkar PCINU Mesir edisi 51, 20 November-15 Desember 2008

Baca Selanjutnya...!...

Kaji Tokoh Hadits (1)

Saturday, November 29, 2008


Ibnu Shalâh; Sang Guru Ilmu Hadits*
Oleh: M. Luthfi al-Anshori

Mengkaji disiplin ilmu hadits adalah pekerjaan yang tak mudah. Sebab, disiplin ini berbeda dengan ilmu-ilmu Islam lainnya dalam segi sejarah, proses transmisi, dialektika, dinamika pro-kontra, maupun kerumitan-kerumitan tersendiri yang membuatnya ‘istimewa’. Kenapa ‘istimewa’(?), karena ilmu ini hanya ada dalam Islam dan tak dimiliki oleh agama-agama lainnya.

Maka tidak heran jika Allah SWT menyebut pengikut nabi Muhammad SAW sebagai umat terbaik (baca: QS. Ali Imran [3]: 110). Pasalnya, umat Muhammad ini dibekali dengan berbagai macam perlengkapan guna mengaktualisasikan potensi dirinya sebagai khalifah. Di antara perlengkapan tersebut adalah Sunnah, yang tiada lain merupakan sumber pengambilan hukum kedua setelah al-Qur’an. Juga, pada saat yang bersamaan Sunnah berfungsi sebagai pedoman hidup dan lentera penerang dalam mengarungi belantara kehidupan.

Oleh karenanya, umat Islam mempunyai perhatian yang demikian besar dalam rangka menjaga warisan Nabi ini, dengan sebaik-baiknya. Di antaranya melalui jalur transmisi, yaitu proses penyampaian secara berkesinambungan dari masa ke masa, lintas generasi, sehingga sampai pada masa di mana ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang. Walhasil, Sunnah Nabi hingga kini masih lestari, mengukuhkan diri sebagai sumber ‘energi’, laksana mata air yang selalu dicari oleh manusia guna menyeka dahaga.

Adapun terkait dengan proses transmisi Sunnah, paska terjadinya tragedi fitnah setelah kemangkatan Utsman, beberapa kalangan tak bertanggung jawab mulai menerapkan akal bulusnya guna menguatkan posisi kelompok masing-masing. Akhirnya, muncullah berbagai hadits paslu yang dibuat-buat demi kepentingan hawa nafsu. Melihat fenomena na’as semacam ini, ulama Islam (setelah masa-masa fitnah mereda) bersegera melakukan reaksi dalam rangka menyelamatkan Sunnah dari penyelewengan dan pendustaan. Mereka lalu memisahkan antara hadits yang shohih dan hadits yang dho’if. Hal itu dilakukan melalui berbagai proses penyaringan yang ketat dan selektif.

Nah, setelah proses inilah akhirnya dikenal berbagai terminologi dalam bidang musthalah hadîts, yang kesemuanya terangkup dalam disiplin ulûm al-hadîts. Terkait pembahasan ulûm al-hadîts, kita tentu tak akan lupa dengan seorang ulama terkemuka, yang telah berjasa menggarap rancang bangun ulûm al-hadîts sehingga ia menjadi satu disiplin ilmu yang mapan. Siapakah ia? Mari kita simak pembahasan lebih lanjut tentang tokoh kita dalam kajian kali ini!

Mengenal Pribadi Ibnu Shalâh
Nama aslinya Taqiyyuddîn Abu ‘Amr Utsman bin Abdurrahman bin Utsman bin Musa al-Kurdi al-Syahrazuri. Ibnu al-Shalâh sendiri awalnya adalah julukan ayahnya, lalu whatdinisbatkan kepada Abu ‘Amr sehingga sampai sekarang ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Shalâh.

Tanah Syarkhân, yaitu sebuah desa yang terletak dekat Syahrazur, kawasan Irbil di sebelah utara Irak adalah saksi bisu di mana Ibnu Shalâh dilahirkan, pada tahun 577 H/1181 M. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam sebuah keluarga yang berada nan agamis. Ayahnya, Abdurrahman, adalah seorang ulama terkemuka yang dikenal sebagai pakar fikih madzhab Syafi’i. Oleh sebab itu, sejak kecil ia mulai dikenalkan dengan fikih oleh ayahnya sendiri. Meskipun masih tergolong belia, namun Utsman kecil telah mampu menyerap berbagai pelajaran dari ayahnya. Tak tanggung-tanggung ia telah berulang kali menghatamkan kita “Muhadzdzab” dan mempelajari berbagai macam dalil yang ada di dalamnya.

Fase berikutnya, Ibnu Shalâh diutus oleh ayahnya untuk berhijrah ke Maushul untuk menuntut disiplin ilmu lainnya. Di sana ia benar-benar rajin belajar sehingga mampu menguasai berbagai ilmu seperti: fikih, ushul fikih, tafsir, hadits, bahasa dan lain sebagainya.

Petualangan Ibnu Shalâh dalam Mencari Ilmu

Ibnu Shalâh tergolong sebagai sosok petualang sejati. Ia berpetualang ke berbagai negeri Islam dalam rangka mencari ilmu, sebagaimana yang pernah dilakukan dan menjadi sunnah hasanah para ulama terdahulu. Terutama sebagaimana yang lazim ditempuh oleh para ulama hadits, mereka rela bepergian dari satu kota ke kota lainnya, dari satu negeri ke negeri lainnya hanya demi mendapatkan (mendengarkan) sebuah hadits. Fakta sejarah ini terekam dalam sebuah karangan imam Abu Bakar al-Khathîb al-Baghdâdi bertajuk “al-Rihlatu fî Thalabi al-Hadîts”.

Dalam kitab Ulûm al-Hadîts atau yang lebih dikenal dengan nama Muqaddimah Ibnu al-Shalâh juga dicantumkan berbagai riwayat terkait petualangan para sahabat dan tabi’in dalam mendapatkan hadits. Yaitu sebagaimana termaktub dalam pembahasan bagian ke-28, tentang ma’rifatu âdâbi thâlibi al-hadîts dan pembahasan ke-29 tentang ma’rifatu al-isnâd al-‘âli wa al-nâzil. Maka, bagi yang ingin membaca lebih detail seputar riwayat-riwayat tersebut, silahkan langsung merujuk ke kitab tersebut.

Dalam rangkaian petualangannya, Ibnu Shalâh tercatat telah mengunjungi berbagai ibukota penting negara-negara Islam. Setelah bermukim di Maushul selama beberapa tahun, beliau lalu hijrah ke Baghdad, ke Khurasan dan kemudian melanjutkan ke Syam. Dalam persinggahannya di beberapa kota tersebut, beliau belajar kepada para ulama setempat dan secara khusus mendalami ilmu hadits, sampai beliau menguasainya.

Ketika di Maushul beliau sempat berguru pada beberapa ulama terkemuka di sana, antara lain; ‘Ubaidillah bin al-Samîn, Nashrullah bin al-Salâmah, Mahmoud bin Ali al-Maushili dan lain sebagianya. Di Baghdad beliau berguru kepada Abi Ahmad bin Sukainah dan Abi Hafsh bin Thabarzad. Sedangkan ketika di Hamadan, beliau belajar dari Abi al-Fadhl bin al-Mu’azzam. Di Naisabur beliau menimba ilmu pada sejumlah besar ulama’ di sana, antara lain; Abi al-Fath Manshur bin Abdil Mun’im bin al-Furâwiy, Mu`ayyid bin Muhammad bin Ali al-Thûsi, Zainab binti Abi al-Qâsim al-Sya’riyyah dan lain-lainya. Dan masih banyak lagi guru-guru Ibnu Shalâh yang tersebar di berbagai tempat yang pernah ia singgahi.

Kondisi Sosio-Politik Di Masa Hidup Ibnu Shalâh
Semasa hidup, Ibnu Shalâh termasuk salah satu ulama yang beruntung karena mendapati sebuah miliu yang kondusif, stabil dan mendukung aktivitas keilmuan. Beliau hidup di masa kesultanan Ayyubiyyah, yang dikenal dengan keberanian dan kepahlawanan mereka. Selain itu, mereka juga dikenal sebagai pemimpin-pemimpin yang adil, bijaksana dan selalu melakukan perbaikan di berbagai wilayah yang telah mereka kuasai. Tak hanya itu, mereka sangat sadar bahwa kemenangan mereka dalam pertempuran tidak akan sempurna jika tak diiringi dengan kemajuan di bidang peradaban, yang mana pilar-pilarnya adalah ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, pemerintah berjihad untuk menggalakkan ilmu pengetahuan, dengan jalan mendirikan berbagai madrasah dan pesantren. Kondisi seperti ini tentu saja memberikan peluang yang sangat besar kepada umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain Ibnu Shalâh, berbagai ulama lainnya pun muncul dalam spesifikasi ilmu yang beraneka ragam. Di antaranya seperti Abdul Ghani al-Muqaddasi (w. 600 H), Ibnu al-Atsîr al-Jazariy (w. 606 H), Ibnu ‘Asâkir al-Qâsim Bahâ`uddîn Abu Muhammad al-Dimasyqi (w. 600 H) dan lain sebagainya.

Kota Syam kala itu termasuk salah satu kota yang terkenal memiliki banyak pesantren dan perguruan tinggi. Di negeri ini pulalah tertancap kokoh sebuah madrasah yang secara khusus mengajarkan disiplin ilmu hadits. Adapun tokoh pertama yang mempelopori madrasah ini adalah Imâm al-Hâfidz Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Khathîb al-Baghdâdi (w. 463 H). Beliau berhijrah dari Baghdad dengan membawa berbagai karangannya menuju Damaskus untuk diajarkan di sana.

Setelah kepergian al-Khathîb al-Baghdâdi, Ibnu Shalâh kemudian menggantikan beliau sebagai pengajar ilmu hadits. Ibnu Shalâh seperti menerima tampuk kepemimpinan untuk mengabdikan dirinya di Syam. Pada waktu itu, Ibnu Shalâh meminta kepada ayahnya untuk pindah ke Halab guna mengajar di Madrasah Asadiyyah yang berada di sana. Semenjak itulah ayah beliau mengajar di Halab dan meninggal di kota itu pada tahun 618 H.

Salah satu fase terpenting dalam hidup Ibnu Shalâh adalah ketika beliau berada di Damaskus. Di sanalah beliau benar-benar mencapai titik kematangan sebagai seorang ulama besar. Bintangnya semakin bersinar dan dikenal oleh masyarakat secara luas. Di sana pulalah beliau semakin gigih menyebarkan ilmu dan menulis berbagai karya. Beliau kemudian dikenal sebagai seorang faqîh, ahli ushul fikih, dan tak main-main beliau menjadi seorang mufti dan dijuluki syaikhu al-Islâm. Selain bidang fikih beliau juga menguasai bidang lainnya seperti tafsir, hadits dan sebagian besar keilmuan Islam.

Sebagai satu-satunya ulama yang paling menguasai bidang hadits (pada masa itu), sejumlah penuntut ilmu dari berbagai penjuru berbondong-bondong untuk datang menuntut ilmu kepada beliau. Sehingga, ketika dalam sebuah karya ilmu hadits disebutkan kata [Syaikh], maka yang dimaksud adalah Ibnu Shalâh. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh al-Iraqi dalam “Alfiyyah”nya: “ketika aku menggunakan kata [Syaikh] (dalam berbagai tulisanku), maka tiada lain yang aku maksud adalah Ibnu Shalâh”. Dengan demikian, setelah melihat sepak terjangnya, kapabilitas Ibnu Shalâh dalam bidang keilmuan Islam sudah tak diragukan lagi.

Jika dahulu Ibnu Shalâh adalah murid dari berbagai ulama kenamaan, maka pada gilirannya ia juga menjadi guru dari murid-muridnya, yang pada masa selanjutnya mereka juga menjadi para ulama besar. Beberapa ulama yang berguru kepada Ibnu Shalâh dalam bidang fikih adalah; imam Syamsuddîn Abdurrahman bin Nûh al-Muqaddasi, imam Kamâluddîn Sallâr, Kamâluddîn Ishâq, Taqiyyuddîn bin Zirrîn dan sebagainya.
Adapun yang belajar hadits pada Ibnu Shalâh antara lain; Fakhruddîn Umar al-Karji, Majduddîn bin al-Muhtâr, Syaikh Tâjuddîn Abdurrahman, Zainuddîn al-Fâraqiy, al-Qâdli Syihabuddîn al-Jauriy dan lain sebagainya.

Ibnu Shalâh dalam Kehidupan Sehari-hari
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa Ibnu Shalâh kecil tumbuh berkembang dalam naungan sebuah keluarga agamis dan berkecukupan. Hal itu pulalah yang akhirnya membentuk karakter dan kepribadiannya. Ibnu Shalâh tumbuh sebagai sosok yang taat beragama, giat nan rajin dalam menuntut ilmu serta selalu memprioritaskan hal-hal yang bermanfaat untuk dilakukan. Untuk sebuah pelajaran ia tak cukup mempelajarinya sekali, namun berkali-kali dan selalu ia teliti.

Ibnu Shalâh adalah seorang yang zuhud dan wira’i terhadap hal-hal duniawi. Namun, dalam hal berpakaian, misalnya, beliau senantiasa menggunakan pakaian yang bersih dan serapi mungkin dalam rangka menghormati majlis-majlis ilmu yang beliau hadiri. Di samping itu, Ibnu Shalâh adalah pribadi yang mengikuti jejak para sufi dalam hal keilmuan sekaligus amalan. Ia sosok seorang hamba yang senantiasa berjihad mengalahkan hawa nafsu agar bisa meraih derajat ikhlas dalam setiap prilakunya. Dan yang perlu di catat, Ibnu Shalâh adalah seseorang yang sangat mencintai hadits beserta ilmunya, sehingga ia pernah berkata dalam kitab “Ulûm al-Hadîts”nya:
“Ilmu hadits adalah ilmu yang mulia, yang sesuai dan seiring dengan tuntunan etika luhur,... dan ia termasuk ilmu akhirat, bukan ilmu keduniaan. Maka barangsiapa yang ingin mendengarkan (belajar) hadits, haruslah terlebih dahulu menata niat dan segenap keikhlasan!”

Ibnu Shalâh juga mengutip perkataan para gurunya, bahwa: “Tanda orang yang panjang umurnya adalah kesibukannya dengan hadits-hadits Rasulullah SAW. Dan hal ini terbukti melalui berbagai fakta lapangan, bahwa ketika kita meneliti umur para ahli hadits, maka kita akan mendapati bahwa umur mereka di-panjang-kan (oleh Allah)”.

Demikianlah kita telah melihat bahwa segenap masa hidup Ibnu Shalâh betul-betul dihibahkan demi ilmu pengetahuan dan Islam. Tahun 643 H, bertepatan dengan tahun 1245 M adalah hari di mana Ibnu Shalâh berpulang ke rahmatullah. Tepatnya pada hari Rabu waktu Subuh dan beliau disholati setelah Dzuhur, tanggal 25 Robi`ul Akhir, di kota Damaskus.

Peninggalan Ibnu Shalâh
Ibnu Shalâh pergi meninggalkan berbagai buah karyanya yang terangkup dalam beberapa disiplin keilmuan. Karya-karya beliau yaitu:
1.Thabaqâtu al-Fuqahâ` al-Syâfi’iyyah;
2.Al-`Amâliy;
3.Fawâ`idu al-Rihlah, sebuah kitab menarik yang mengandung berbagai pembahasan dalam beragam ilmu, beliau tulis di sela-sela perjalanan menuju Khurasan;
4.Adâbu al-Mufti wa al-Mustafti;
5.Shilatu al-Nâsiki fî Shifati al-Manâsiki, sebuah buku yang menjelaskan tata cara dalam melaksanakan ibadah haji;
6.Syarhu al-Wasîth fi Fiqhi al-Syâfi’iyyah;
7.Al-Fatâwâ, sebuah buku hasil kodifikasi para muridnya, berdasarkan fatwa-fatwa yang dikeluarkan Ibnu Shalâh, baik dalam bidang fikih, tafsir maupun hadits;
8.Syarhu Shahîhi al-Muslim, sebagaimana disebutkan oleh imam Suyuthi dalam Tadrîb al-Râwi;
9.Al-Mu`talaf wa al-Mukhtalaf fî Asmâ`i al-Rijâl. Sebuah manuskrip yang disimpan di Dâr al-Kutub al-Dzâhiriyyah;
10.Ulûm al-Hadîts atau yang lebih dikenal dengan Muqaddimah Ibnu al-Shalâh.

Demikian apa yang dapat penulis sampaikan terkait biografi Ibnu Shalâh. Semoga, melalui kajian tokoh ini kita dapat mengambil ibrah dan pelajaran, sehingga dapat kita jadikan cermin untuk bermuhasabah. Wallahu a’lam![]

*)Makalah ini disampaikan dalam Serial Kajian Turats Misykati pada hari Jum'at, 28 November 2008, di sekretariat Misykati, Mutsallats, Nasr City, Kairo.

Referensi:
1.Ibnu al-Shalâh, Abu ‘Amr Utsmân, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh, Beirut, Dâr al-Tsurayya li al-Narys.
2.Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo, Maktabah Usrah, 2006.
3.Maushû’ah A’lâmu al-Fikr al-Islâmi, Kairo, Majlis A’la li al-Syu`ûn al-Islâmiyyah, 2004.
4.Abu ‘Amr, Utsmân, Ulûm al-Hadîts li Ibni al-Shalâh, Beirut, Dâr al-Fikr al-Mu’âshir.

Baca Selanjutnya...!...

Safari Perpustakaan (5)

Saturday, November 22, 2008

PERPUSTAKAAN UMUM MUBARAK
(Mubarak Public Library)

Oleh: M. Luthfi al-Anshori, dkk.

Perpustakaan Umum Mubarak atau yang biasa disebut dengan Mubarak Public Library (MPL) diresmikan oleh Presiden Husni Mubarak pada tanggal 21 Maret 1995. Perpustakaan ini menggambarkan salah satu tipe unik dari perputakaan–perpustakaan Mesir dari segi pendirian dan pengelolaannya. Perpustakaan ini berhasil berdiri atas hasil kerjasama dan jerih payah berbagai daerah dalam negeri dan mancanegara, merekalah yang ikut andil dalam institusi ini. Daerah–daerah tersebut termasuk dalam "Cultural Development Found" ( Dana Pengembanagan Kebudayaan), hak pemerintah yang dikontrol oleh Menteri Kebudayaan, "Integrated Care Society" ( Perhimpunan Peduli Integrasi ), sebuah organisasi non-pemerintahan (NGO), dan "Bertelsmann Foundation", sebuah institusi pribadi Jerman. Perpustakaan ini diawasi oleh dewan pemimpin yang terdiri dari perwakilan yang diambil dari tiap daerah yang telah disebutkan sebelumnya. Dewan ini bekerjasama dengan pemerintah, yang diharapkan dapat menciptakan hubungan langsung serta mengembangkan rangkaian gerakan antar perpustakaan, seperti layaknya mempertahankan tingkat efisiensi yang membangun karakteristik pada pemunculan pertama perpustakaan tersebut.

Kandungan Filosofi Perpustakaan Mubarak
- Tujuan utama perpustakaan Mubarak didirikan adalah menyebarkan dan memperluas pengetahuan umum serta mengembangkan kebiasaan membaca di antara generasi muda.
- Menyediakan fasilitas membaca untuk segala umur dan segala kalangan.
- Membuka peluang saham melalui berbagai jalur.
- Menerapkan klasifikasi dengan menggunakan pemasukan pokok di berbagai macam area pelayanan dalam perpustakaan.
- Menunjukkan seluruh sasaran dalam penciptaan Interest Groups (IG).
- Membuang alat–alat yang tidak digunakan dan tak layak pakai dan kemudian menggantinya.
- Memberikan sumbangsih dalam penyebaran informasi tekhnologi dengan tujuan memberikan keuntungan bagi publik.
- Ikut berpartisipasi dan berinteraksi di even-even terbaru.

Figure Perpustakaan Mubarak
- Perpustakaan Mubarak terdiri dari empat lantai dengan dilengkapi taman yang ada di sekeliling bangunan, dengan luas area 2600 meter2.
- Jumlah anggota perpustakaan yang telah tercatat sampai akhir tahun 2004, mencapai sekitar seratus ribu, yang tujuh belas ribu diantaranya menjadi anggota aktif.
- Lebar rak yang tersedia di dalam perpustakaan totalnya berjumlah 1700 meter.
- Terdiri dari 450 kursi 80 meja baca yang disediakan untuk kalangan dewasa, anak-anak dan disediakan juga ruangan untuk pertemuan, teras, jumlah kursi itu termasuk jumlah kursi yang disediakan di taman.
- Jumlah total audio/video 70 unit ( termasuk video, audio, CD, DVD players).
- Terdapat 150 PC units yang disediakan untuk anggota dan staff.
- Jumlah buku yang dipinjamkan mencapai lebih dari setengah milyar tiap tahun.
- Sekitar 135.000 benda-benda sejarah disediakan bagi anggota perpustakaan, ini termasuk buku, kaset audio dan video, CD audio dan multimedia dan juga DVD, di samping itu disediakan pula koleksi majalah dan surat kabar Arab serta manca negara pilihan.
- Buku–buku untuk kalangan dewasa tersedia sekitar 43% dari total koleksi perpustakaan, sekitar 47% bagi anak–anak, dan audio/video dan CD multimedia sekitar 10%.

Keanggotaan Perpustakaan
- Perpustakaan menerima keanggotaan dari semua kalangan masyarakat, laki-laki dan perempuan, dari berbagai profesi dan usia, dimulai dari usia 3 tahun.
- Anggota dapat menggunakan seluruh pelayanan yang disediakan oleh perpustakaan.
- Terdapat dua jenis keanggotaan; individu dan keluarga.
- Pendaftaran untuk keanggotaan diserahkan kepada Divisi Keanggotaan di lantai dasar.
- Untuk informasi lebih lanjut tentang keanggotaan perpustakaan, harap cek pada MPL website: http://www.mpl.org.eg

Bagaimana Menemukan Apa yang Anda Cari
- Cek di bagian informasi yang tersedia di berbagai divisi dalam perpustakaan.
- Cari katalog benda kebudayaan otomatis dari tiap layar komputer yang tersedia dalam perpustakaan.
- Mengikuti perkembangan buku-buku yang tercetak yang tersedia di tiap bagian perpustakaan yang berbeda-beda.
- Ikuti pertemuan–pertemuan untuk orientasi perpustakaan.

Pelayanan yang Disediakan oleh Perpustakaan
- Panduan (Guiding): Tim kerja perpustakaan membantu pelanggan untuk mencari subjek yang mereka cari.
- Bibliographic Search: Memberikan sumber informasi yang tersedia di perpustakaan tentang subjek atau pengarang tertentu.
- OPAC (Online Public Access Catalogue): Perpustakaan menggunakan sistem gabungan perpustakaan (UNICORN) untuk memfasilitasi pencarian koleksi perpustakaan di samping via worldwide web.
- Current Awareness: Menyediakan daftar buku-buku terbaru yang bisa ditemukan website perpustakaan dalam internet, ada juga yang berbentuk hard copy
- Subject indexes: Menyediakan layanan untuk berbagai cultural event dan interest groups ( IG ).
- Electronic Points (e-points): Layanan ini berupa informasi tentang semua ada di perpustakaan berupa keterangan-keterangan dll. Layanan ini bisa didapat dari computer personal yang disambung dengan internet langsung atau yang lainnya.
- The Internet: Anggota perpustakaan dapat mengacces internet gratis.
- Library Collection: Perkembangan koleksi selalu di update untuk memnuhi kebutuhan anggota dan disesuaikan dengan tujuan perpustakaan.
- External Borrowing: Anggota perpustakaan diperbolehkan meminjam lebih dari lima buku dan bisa diperpanjang setiap dua minggu, memperpanjang masa peminjaman bisa dilakukan melalui telepon dan website perpustakaan.
- In-house Use of Library Materials: Anggota dapat juga memanfaatkan benda-benda kebudayaan yang tersedia di dalam gedung yang ada di samping perpustakaan
- A/V Material: Anggota dapat juga melihat film, mendengarkan musik dan lagu ataupun menggunakan media self teaching ( bahasa asing, computer, dll ).
- The Digital Library: Menyediakan access memungkinkan untuk mendapatkan informasi apapun melalui digitalisasi di dalam perpustakaan.
- Photocopying Service: Pelayanan ini disedikan bagi para pelanggan dengan fotocopy berkwalitas tinggi dengan harga yang sesuai, dengan pertimbangan hak properti intelektual.
- Suggestions: Anggota akan menemukan kotak saran dan kritik di dalam perpustakaan yang memberikan wadah untuk para anngota mengungkapkan yang mereka butuhkan.
- Cultural Activities: Kegiatan ini menampung minat para anggota dan mengembangkan bakat mereka, dalam hal ini perpustakaan meneyediakn seminar umum dan mengelola workshop dan juga pameran exhibition, di samping itu juga meyusun seminar yang diperuntukkan para pemikir dunia nasional dan internasional.
- Visits: MPL menyambut tamu dan delegasi yang berunjung ke perpustaaan
- Training: perpustakaan menyusun trining program bagi para anggota dan para librarian,contohnya:
* PC training personal computer
* training untuk librarian dan infomasi dengan kualifikasi khusus
* training program bagi para pelajar undergraduate dan informasi sains
* menyediakan laboratorium bahasa bagi pengguna untuk bisa belajarbahasa inggris dilengkapi dengan tekhnologi modern dan programpembelajaran yang mutakhir .

Tour Menjelajah Perpustakan
- Lantai Dasar : Mencakup sirkulasi dan area pelayanan anggota, meja informasi, toko, dan kantor staff perpustakaan.
- Lantai I : Perpustakaan bagi kalangan dewasa, meliputi aula khusus untuk inhouse reading dan rak, alat audio/video dan multimedia, internet, area galeri, dan kafetaria.
- Lantai II : Perpustakaan untuk anak–anak, meliputi ruang membaca dan beraktifitas disertai dengan kantor pengelolaan.
- Lantai III : Meliputi ruang seminar dan konferensi, teras, dan beberapa kantor staff.
- Setiap lantai terdapat ruang istirahat bagi laki–laki dan perempuan.
- Dilengkapi elevator di dalam perpustakaan yang tersedia untuk kalangan lanjut usia.
- Perpustakaan dilengkapi dengan taman yang luas serta menyediakan kursi bagi para pembaca yang ingin membaca di udara terbuka.
- Pusat pelatihan disediakan di bangunan terpisah dari perpustakaan.

Aturan Penggunaan Perpustakaan
Apa yang harus dilakukan:
1. Menunjukkan kartu keanggotaan perpustakaan ketika diminta oleh petugas.
2. Memperbaharui kartu anggota bila telah habis masa berlakunya dengan mengembalikan kartu anggota yang lama kepada perpustakaan.
3. Menjaga ketenangan dalam perpustakaan.
4. Anak di bawah umur 6 thn harus didampingi selama berada dalam perpustakaan.
5. Mengembalikan peralatan maktabah setelah selesai memakainya.
6. Anggota makatabah melengkapi prosedur peminjaman sebelum meningalkan perpustakaan.
7. Mengikuti peraturan yang telah ditentukan (seperti internet, kegiatan kebudayaan, program pelatihan, dll).
8. Bila menemukan barang hilang, segera serahkan ke kantor keamanan.
9. Barang-barang milik pribadi harus ditinggalkan di kantor keamanan.
10. Mengembalikan buku pinjaman tepat pada waktunya, dengan mengikuti prosedur yang akan disediakan .

Apa yang harus ditinggalkan:
1. Memasuki area khusus staf.
2. Keluar perpustakaan dengan membawa buku yang belum tercatat dalam data perpustakaan.
3. Menyobek halaman buku ataupun majalah.
4. Memecahkan ataupun merusak benda-benda kebudayaan.
5. Mengkopi data-data audio video lewat tape pribadi.
6. Menggunakan ponsel seluler di jalan dalam ruang baca.
7. Menggunakan berbagai macam kamera tanpa ijin dari pengelola maktabah.
8. Membawa makanan ataupun minuman dari luar kafetaria yang disediakan.
9. Merokok dalam perpustakaan.
10. Mengganggu ketenangan para pembaca.

CABANG ZAYTOUN
Pada tanggal 24 Maret 1999, Ny. Suzan Mubarak sebagai Ketua Dewan Direktur MPL meresmikan perpustakaan cab. Zaytoun dengan tujuan untuk mencapai target MPL di lokasi lain di luar lokasi Cairo yang lebih besar.
- Seluruh sistem keamanan dan prosedur yang digunakan di perpustakaan utama diterapkan juga di perpustakaan yang terdapat di cabang.
- Dengan lantai dasar seluas 360 m yang dilengkapi dengan taman, sedangkan luas lantai satu terhitung 1240 m.
- Mempunyai divisi pelayanan yang sama diterapkan di perpustakaan utama.
- Zaytoun terhubung dengan perpustakaan pusat menggunakan electronic leased line.
- Kartu keanggotaan memungkinkan anggota untuk menggunakan seluruh pelayanan yang disediakan baik di maktabah utama ataupun cabang.
- Diperbolehkan mengembalikan buku pinjaman di perpustakaan utama ataupun cabang.
- Total anggota perpustakaan di Zaytoun sejak didirikannya berjumlah sekitar 6000 anggota.
- Perpustakaan mengelola sekitar 33000 benda-benda peninggalan budaya selain koleksi surat kabar dan majalah arab maupun manca Negara pilihan.

PERPUSTAKAAN DAERAH
Melihat sukses yang diraih MPL di tingkat kebudayaan, Ny. Suzan Mubarak memutuskan untuk meluaskan model MPL pada tahun 2000 di berbagai propinsi. Fakta yang ada mengatakan di tiap propinsi dalam kerjasamanya dengan MPL dimulai sejak mendirikan perpustakaan umum sesuai spesifikasi dan standar yang disyaratkan oleh Dewan Direktur MPL. Dalam kontek proyek kenegaraan ini, akhirnya hanya dua maktabah yang berhasil dibangun, yaitu di New Valley dan Port Said. Prosedur pembukaan di tiap perpustakaan di kota lain berada di bawah konstruksi pemerintah Mesir yang berbeda, dimulai perpustakaan umum di Mansouroh yang terletak di propinsi Dakahleya yang didirikan tahun 2005, Danietta Laut Merah (di Hurgadha), Kalyoubeya, Luxor, dan Beni Sweif.

Jam Kerja:
Waktu buka berlangsung setiap hari dari pukul 11 pagi sampai 7 malam, kecuali hari Selasa dan hari libur nasional.

Rute:
Dari H-7 naik bus 912 atau bus AC 375 coret. Dari Bu’us, Naik mini bus 46, atau bus 666. Terus turun aja di akhir kubri al-Jami’ah, setelah Universitas Cairo. Jalan ke kanan mengikuti jalan raya persis di samping sungai Nil. Jangan lupa sambil noleh kanan-kiri, soalnya kira-kira pada jarak 500 meter anda akan menemukat Maktabah Mubarak.

Referensi:
• Buku brosur profil Mubarak Public Library, English Edition.
• http://www.mpl.org.eg (Arabic Version).

Baca Selanjutnya...!...

Safari Perpustakaan (4)

Sunday, November 9, 2008

Perpustakaan IIIT (The International Institute Of Islamic Though)
Oleh: M. Luthfi al-Anshori, dkk.

Sekilas Tentang IIIT
IIIT merupakan organisasi dunia yang konsen dalam pengembangan cakrawala pemikiran dan research studi Islam kontemporer. Pertama kali ide cemerlang ini digagas pada tahun 1981 di Pennsylvania Amerika Serikat.

Misi:
Institute ini muncul didedikasikan untuk;
1. Membangkitkan dan memperbaharui pemikiran Islam;
2. Menggali dan mengembangkan khazanah intelektual Islam;
3. Mengembangkan metode untuk berinteraksi dengan al-Qur’an dan Sunnah;
4. Mengembangkan metode untuk berinteraksi dengan Turats Islam;
3. Mendorong para pengamat dan ilmuwan untuk mengamalkan prinsip-prinsip Islam;
4. Membangun kerja sama untuk mengembangkan ilmu pengetahuan;
5. Menemukan akar Islami bagi pengetahuan dan ilmu-ilmu humaniora;
6.Menghadirkan layanan-layanan keilmuwan bagi para ilmuwan dan peneliti, agar bisa berinteraksi dengan berbagai ilmu dan metode-metodenya;
7.Memberikan perhatian terhadap penciptaan hubungan antara mereka yang concern terhadap ilmu-ilmu sosial dan humaniora dan para peneliti ilmu-ilmu sosial keagamaan yang memberikan perhatian terhadap perwujudan teks menjadi sesuatu yang aktual dan senantiasa menciptakan hubungan yang semestinya antara kedua kelompok;
8.Menyediakan konsultasi ilmiah bagi para peneliti dari tingkat magister dan doktoral.

Kantor Cabang dan Afiliasi:
Institute ini memiliki banyak sekali cabang yang tersebar di berbagai belahan dunia, di antaranya;
* Bangladesh * Jordan
* Bosnia * Lebanon
* Brunei * Nigeria
* Egypt * Indonesia
* Morocco * Pakistan
* France * Saudi Arabia
* India * UK

Kantor IIIT di Mesir
Alamat;
Khaled Abdelmoneim
Center For Epistemological Studies
26-A Al Gazira Al Wosta St.
Zamalek, Cairo, EGYPT.
Tel: 202-735-9825
Fax: 202-735-9520
Email: Epistem@hotmail.com
Website: http://www.eiit.org

Program-Program:
1.Mengadakan seminar, diskusi dan simposium ilmiah;
2.Mendukung para ilmuwan dengan menyebarkan karya-karyanya dan menerjemahkannya ke beberapa bahasa;
3.Memberi perhatian khusus terhadap ilmu-ilmu humaniora dan pendidikan untuk membangun pribadi yang Islami;
4.Membentuk kelompok-kelompok studi.

Inventaris:
1.Arsip-arsip berita dan surat kabar yang mencakup berbagai macam permasalahan dan pemikiran yang menjadi pusat perhatian para peneliti dalam masalah-masalah dunia Arab dan umat Islam. Arsip tersebut dikumpulkan dari puluhan koran dan majalah Mesir serta negara-negara Arab lainnya.
2.Pustaka video yang menyediakan berbagai macam rekaman langka dari para ilmuwan dan pemikir besar.
3.Buku-buku dari berbagai macam disiplin ilmu dan pengetahuan.
4.Tesis dan Disertasi para ilmuwan.

Seminar-seminar yang pernah dilaksanakan:
1.Seminar Ilmiah tentang “Hijran al-Ummah Li al-Qur’an Hal Min Sabîli ilâ Izâlati Asbâbihi” dengan pembicara Dr. Thaha Jabir Alwany.
2.Seminar Ilmiah tentang “Mu`assasah Ilmiyyah wa Ta’lîmiyyah fi ‘Ashri al-Hadhârah al-Islâmiyyah” dengan pembicara Dr. Ahmad Fuad Basya.
3.Seminar Ilmiah tentang “Mu`assasah fi al- Hadhârah al-Islâmiyyah” dengan pembicara Dr. Muhammad Imarah.
4.Seminar Internasional Filsafat Islam tentang “Manâhij al ‘Aum wa Falsafatuha fi Mandhûr Islâmiy” dengan pembicara Dr. Umar Kasuli, Dr. Ibrahim Rasyad Ibrahim, Dr. Muhammad Abdul Mu’thi Muhammad.

Buku-buku yang pernah diterbitkan:
1.“Musthalah al-Ushûli Wa Musykilatu al-Mafâhim” karya Dr. Ali Jum’ah.
2.“Taqyîm Wadhîfatu at-Taujîh Fi al-Bunûk al-Islâmiyyah” karya Abdul Hamid Abdul Fatah.
3.“Al-Mar’ah Wa al-‘Amal Siyâsi; Ru’yah Islâmiyyah” karya Hibbah Rauf.
4.“Turâtsuna al-Fikri Fi Mizân al-Syar’i Wa al-‘Aqli” karya Muhammad Ghazali.
5.Dll.


Rute Perjalanan:
- Dari H-10/H-7/H-6/Rab’ah/H-8/Abbasea naik bus/tramco jurusan Ramsis/Tahrir
- Dari Ramsis/Tahrir naik segala macam kendaraan jurusan Zamalik (Minibus no. 47, Taxi, dll)
- Turun di akhir mahattah Zamalik, jalan ke IIIT sekitar 200 meter dari sini.

Referensi
1. www.iiit.org
2. www.eiit.org
3. Profil IIIT.
4. PMIK Guide Book Safari Perpustakaan 2007.

Baca Selanjutnya...!...

Safari Perpustakaan (3)

Wednesday, November 5, 2008

Perpustakaan Qahirah Kubra
“The Greater Cairo Public Library”

Oleh: M. Luthfi al-Anshori

Prolog
Perpustakaan ini merupakan perpustakaan umum terbesar di Mesir setelah perpustakaan Nasional Mesir. Diresmikan oleh Ibu Negara Suzan Mubarak pada tanggal 24 Januari 1995. Perpustakaan ini terletak di dalam sebuah istana megah di Zamalik. Dengan naik ke lantai atasnya, memandang ke arah bawah kita akan mendapati panorama sungai Nil yang elok. Konon, istana ini merupakan kediaman putri Samiha Kamel, cucu Khedive Ismail. Setelah ia wafat pada tahun 1984, istana itu dihibahkan untuk kegiatan kebudayaan. Gedung ini kemudian direnovasi oleh pihak Kementrian Kebudayuaan sejak tahun 1991 hingga 1995. Pada tahun 2005 perpustakaan ini juga mengalami renovasi lagi.

Alamat:
Kementrian Kebudayaan sektor Produksi Kebudayaan Perpustakaan Umum Cairo, 15 Mohammade Mazhar, Zamalik, Cairo. Telpon: 27362278, Fax: 27362280.
Website: www.library.idsc.gov.eg

Luas Area:
3.465 m2

Jam Kerja:
Perpustakaan buka setiap hari dari jam 09.00 pagi sampai dengan jam 16.00 sore, kecuali hari Jum’at, Sabtu dan hari-hari libur nasional.

Pelayanan Umum:
a.Perpustakaan utama terdiri dari referensi umum dari berbagai macam disiplin ilmu.
b.Perpustakaan anak-anak
c.Ruang Seminar dan konferensi
d.Kafetaria

Aset Perpustakaan:
Aset perpustakaan mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan. Di antaranya ilmu humaniora, ilmu nasional, ilmu murni, ilmu terapan. Kini perpustakaan ini memiliki 165.000 volume buku dan referensi, 180 jurnal periodik dan sejumlah besar dokumen, peta dan pamflet. Di samping itu, perpustakaan juga memiliki kurang lebih 2 juta barang dalam bentuk material dan audovisual.

Proses Teknis:
Perpustakaan ini memilik database bibliografi elektronik untuk mempermudah mendapatkan kembali materi-materi di perpustakaan, seperti mengakses pengarang, judul, dan penerbit.
Katalog perpustakaan sepenuhnya dikomputerisasikan menurut system dokumentasi terbaru; Advanced Library Information System (ALIS). Sistem ini di-setup oleh IDSE. Buku-buku di perpustakaan ini diklasifikasikan dan disusun menurut sistem Classificasion Desimal Dewey.

Pelayanan Perpustakaan:
1.Referensi dan pelayanan bibliografi
2.Pelayanan duplikasi foto
3.Pelayanan disenimasi informasi pilihan dan terbaru
4.Pelayanan informasi
5.Mendengar dan melihat dengan audio visual dan siaran televisi
6.Peningkatan kemampuan kebudayaan dan pendidikan anak-anak
7.Program seni dan kebudayaan, meliputi; kuliah, seminar, konferensi, budaya, kelompok, penelitian, dan pertunjukan teater.

Mater-materi buku:
Buku-buku umum dalam berbagai disiplin ilmu.

Referensi Berbahasa:
Spanyol, Inggris, Arab, Prancis.

Bentuk Pencarian Referensi:
1.Sistem Komputer
2.Judul
3.Pengarang Buku
4.Bab Pembahasan

Personalia Perpustakaan:
1.Kepala Perpustakaan; Muhammad Hamdi
2.Pegawai Berskill; 51
3.Pegawai Skill Menengah; 23
4.Pegawai Unskill; 7
5.Pegawai tidak tetap; 29

Peralatan:
1.Mesin Fotoopy
2.Mesin Microfiche
3.TV
4.Video
5.Komputer
6.LCD

Rute Perjalanan:
- Dari H-7/H-10/H-8/H-6/Rabea Adawea/Abbasea naik bus/tramco jurusan Ramses/Tahrir
- Dari Ramses/Tahrir naik segala macam angkutan jurusan ke Zamalik (ex. Bus No. 47, taxi, dll)
- Turun di depan Maktabah Qahirah Kubra

Referensi;
1.www.egyptlib.net.eg
2.PMIK Guide Book Safari Perpustakaan 2007.

Baca Selanjutnya...!...

Safari Perpustakaan (2)

Saturday, October 25, 2008

Dârul Kutub wa al-Watsâ`iq al-Qaumiyyah
Oleh: M. Luthfi al-Anshori, dkk.

Historiografi Singkat Darul Kutub dan Penamaannya
Darul Kutub didirikan atas dekrit atau ketetapan Ali Pasha Mubarak, Menteri Pendidikan di masa pemerintahan Khedive Ismail, dengan surat keputusan tahun 1286 H/1870 M. Perpustakaan itu pada mulanya dibangun di lantai dasar ruang penguasa Musthafa Fadhil, saudara kandung Khedive Ismail, di ruas jalan al-Jamâmîz. Pengadaan perpustakaan itu dimaksudkan untuk menampung dan menghimpun manuskrip-manuskrip pribadi yang disimpan para pemimpin, penguasa, ulama’, dan para penulis yang berada dan tersebar di masjid-masjid serta pesantren.

Seiring perkembangannya yang cukup pesat dan pertambahan koleksi buku yang semakin banyak, pemerintah akhirnya mendirikan sebuah gedung perpustakaan baru sekaligus sebagai museum (saat ini menjadi Museum Islam) di kawasan Bab el-Khulq. Gedung itu terdiri dari 3 lantai yang meliputi lantai dasar sebagai museum, sedangkan lantai 1 dan 2 sebagai perpustakaan. Setelah proses pembangunan gedung selesai pada tahun 1903 M, koleksi buku yang sebelumnya bedara di ruangan sempit Musthafa Fadhil itu dipindahkan ke sana, dan pada tahun 1904 M mulai dibuka juga gedung untuk para pengunjung dan pengguna perpustakaan.

Konsekuensi logis dari pertambahan buku yang terus berlangsung menyebabkan gedung tersebut tak cukup menampung lebih banyak buku lagi. Akhirnya didirikan gedung baru lagi di kawasan Kurnisy Nil Ramlah Bulaq pada bulan Juli 1961 M. Selama kurang lebih 12 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973 barulah buku-buku dari Bab el-Khulq dipindahkan ke sana. Gedung baru ini dibuka secara resmi pada tahun 1977 M.

Dalam rangka proyek pengembangan perpustakaan, beberapa ruangan khusus di Darul Kutub mengalami pembaruan dan pelengkapan sarananya. Di antaranya adalah ruang penyimpanan berbagai macam manuskrip serta arsip-arsip yang dilengkapi dengan sarana tehnik modern, untuk memudahkan mekanisme para pengguna dalam melakukan penelitian dan pencarian bahan. Koleksi manuskrip Darul Kutub kurang lebih mencapai 57.000 manuskrip yang terdiri dari berbagai jenis kumpulan tema atau disiplin ilmu dengan taraf internasional. Di samping itu Darul Kutub juga menyimpan berbagai jenis kartu pos kuno serta majalah dan surat kabar Arab. Tidak cukup di situ, Darul Kutub juga kaya akan arsip-arsip penting negara yang meliputi surat tanda bukti wakaf, arsip dari berbagai lembaga kementrian yang beraneka ragam dan rekaman-rekaman dari Lembaga Peradilan, yang banyak dibutuhkan oleh banyak kalangan archeolog dan ahli purbakala. Yang menambah keunikan perpustakaan ini karena ia juga mengoleksi berbagai macam mata uang negara-negara Arab kuno yang tertanda tahun 77 H/696 M.

Dalam perjalanan sejarahnya, perpustakaan ini sempat beberapa kali mengalami perubahan nama, antara lain yaitu:
1.Dâr el-Kutub al-Khudawiy pada tahun 1911 M.
2.Dâr el-Kutub al-Mishriy tahun 1927 M.
3.Dâr el-Kutub al-Sulthâniy pada tahun 1961 M.
4.Dâr el-Kutub wa al-Watsâ`iq al-Qaumiyyah (Perpustakaan Buku dan Arsip Nasional) tahun 1956.
5.Al-Hay’ah al-Ammah li al-Kutub (Badan Umum Perpustakaan Nasional) tahun 1971 M.
6.Al-Hay’ah al-Ammah li al-Kutub wa al-Watsâ`iq al-Qaumiyyah (Badan Umum Perpustakaan dan Arsip Nasional) tahun 1994 M.

Struktur Organisasi Badan Pengelola Perpustakaan:
1.Kantor Pusat Perpustakaan, meliputi;
•Kantor pelayanan membaca
•Kantor urusan kesenian
•Kantor urusan pertukaran percetakan
•Kantor pelayanan perpustakaan
2.Kantor Pusat Keilmuan, meliputi;
•Pusat pelayanan, bibliografi dan aritmatika
•Pusat renovasi, penjagaan dan mikro film
•Pusat sejarah Mesir modern
•Pusat otentifikasi dan verifikasi kitab turâts
•Pusat penelitian pendidikan anak-anak.

Misi Direksi Pusat Perpustakaan
Setelah Darul Kutub dikukuhkan sebagai sebuah Perpustakaan Nasional, ia menangani beberapa sektor penting yang antara lain adalah;
1. mengumpulkan produktivitas pemikiran dan wawasan nasional dalam berbagai bentuknya yang bertujuan untuk mendefinisikan dan menjaganya untuk generasi mendatang;
2. menyusun dan menyebarkan bibliografi nasional;
3. mengumpulkan studi dan riset dari buku-buku yang telah terbit dan beredar di kalangan luas yang berkaitan dengan urusan negara, baik dari sisi politik, sejarah, ekonomi, dll;
4. mengumpulkan cetakan yang disebarkan oleh sarana-sarana negara dan mendefinisikannya;
5. pemilihan produksi internasional yang cocok di berbagai cabang ilmu pengetahuan untuk mempermudah tela’ah terhadap bagian yang lain, yang mengantarkan pada ilmu pengetahuan manusia di berbagai disiplin dan mendefinisikannya;
6. pengumpulan kitab-kitab wawasan klasik Arab dan Islam (turâts), sebagai dasar dan gambaran serta mendefinisikannya meletakkannya atas biaya para pelajar. Khusus untuk jurnal, saat ini sudah dikomputerisasi, baik yang lama maupun yang baru;
7. pembuatan unit katalog dan bekerja seperti pusat informasi nasional, serta pelayanan riset ilmu pengetahuan yang dikendalikan dalam sebuah profesionalisme ilmu;
8. memasukkan daftar pustaka jurnal dan buku-buku berdasarkan penghitungan data, baik untuk jumlah yang lampau maupun edisi baru.

Menelisik Lebih Dekat ke Darul Kutub
1. Lantai pertama
a. Kantor keamanan; bertanggung jawab memina identitas pengunjung dan peneliti serta menyerahkan surat izin masuk yang ditinggalkan di ruang penelitian;
b. Pameran Darul Kutub; memuat kumpulan majalah dinding dan fatrien komentar Taufiq Hakim dan Abbas el Aqqad, Fatrien patung ibnu Sina, el Mutanabbi, ali Mubarak, Muhammad abduh, dan sebagian majalah dinding romantis Ahmad Syawqi, Qasim Amin, Raja Faruq

2. Lantai Kedua
A. Mencakup Kantor Umum Urusan Kesesnian:
1. Al-Tazwid (pendaftaran, pembelian, hadiah, langganan jurnal asing dan Arab, dan penyimpanan undang-undang)
2. Al-Faharis (Daftar pustaka Arab, daftar pustaka Eropa, daftar pustaka Asia, dan bibliografi)

B. Ruangan Jurnal: Kamar nomor I
Dilengkapi dengan jurnal-jurnal bahasa Arab dan Asing, baik umum maupun khusus dengan jumlah yang banyak dalam berbagai ilmu pengetahuan, seni dan pendidikan. Memberikansumbangsih peran yang besar atas pelayanan peneliti. Kantor jurnal memberikan pelayanan terhadap masyarakat umum dalam bentuk (pelayanan referensi, peminjaman dan foto copy) ketika diadakannya pameran jurnal-jurnal Arab dan Asing di waktu-waktu terbit sehingga memudahkan untuk para peneliti untuk menelaah dalam jangka waktu yang relatif singkat, sebagaimana disediakan untuk peminjaman. Dan sekarang komputerisasi jurnal lama maupun baru sudah terlaksana.

3. Lantai Ketiga
A. Ruang Utama untuk membaca: Kamar No. II
Memberikan pelayanan terhadap para pembaca dan para peneliti terhadap sebagian besar kitab-kitab yang berbahasa Arab atau asing dari stok yang ada. Dan juru pengarah (guide) yang berada di ruangan memberikan pelayanan untuk membantu para peneliti agar memperoleh data-data buku yang dicari lewat daftar pustaka dan data-data yang sudah ada.

B. Ruang Musik: Kamar No III
Di dalamnya terdapat CD, kaset, not musik dalam jumlah angka yang banyak. Ada juga kumpulan buku, referensi, ensiklopedia musik dalam jumlah yang besar. Terdapat juga kartu pustaka untuk mempermudah pencarian alat-alat audio, kaset maupun buku-buku.

C. Ruang Kesenian: Kamar No IV
Di dalamnya tersedia buku-buku dan referensi yang banyak dalam pelbagai judul seni (sejarah, bangunan, ukiran, gambar, hiasan, dekor). Disamping itu juga terdapat risalah (skripsi, tesis, dan desertasi) universitas yang disimpan di mikrofis di pelbagai spesifikasi seni.

4. Lantai Keempat (Ruang Manuskrip): Kamar No V
Di dalamnya terdapat manuskrip, papirus dan potongan seni yang tersedia dalam aturan susunan rak terkunci. Tredapat pula daftar pustaka yang membantu para peneliti untuk menemukan nomor manuskrip dan judulnya yang tersimpan dalam mikrofilm

5. Lantai Kelima
A. Ruang Insaniyyât: Kamar No. VI
Di ruangan ini terdapat kumpulan yang berharga, berupa referensi dan rujukan berbahasa Arab dan asing dalm pelbagai macam ilmu pengetahuan selain ilmu teknologi. Tersusun berdasarkan sistem dewey al asyar diatar rak-rak yangterbuka. Bagian riset kesenian memberikan pelayanann dalam bentuk jawaban dan penerangan atas pertanyaan yang dilontarkan lewat telepon, surat atau email. Diruangan tersebut juga terdapat terbitan-terbitan baru darul kutub, selebaran daftar buku (yang terdaftyar di ISBN) dan selebaran tambahan berbahasa Arab dan asing. Bagian ini pula yang mengeluarkan tiap bulan produk peikiran baru.
Email bagian riset: referendeb@hotmail.com

B. Ruang Teknologi : Lkamar No VII
Terdapat kumpulan pilihan referensi dan rujukan khusu dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dipamerkan pula katalog bku dan tambahan-tambahan yang memakai rak-rak terbuka.

C. Ruang PBB: Kamar No VIII
Di ruangan ini terdapat seluruh cetakan dan dokumen yang diterbitkan oleh PBB berkaitan dengan perkembangan yang terjadi dalam segmen kehidupan (perekonomian, pembangunan, produksi, pertanian, dll) Semuanya bisa didapatkan di rak-rak terbuka, juga daftar pustaka khusu cetakan PBB.

6. Lantai keenam
A. Ruang Multi Media: Kamar No. IX
Ruangan ini terdapat didalam kamar insaniyyat. Memberikan pelayana internet, kumpulan aset perpustakaan, mikrofilm, CD Room secara gratis bagi para pengguna. Begitu juga memberiakn pelayanan mikrosfis dari awal percetakan tahun 1514-1862 M. Selain kumpulan mikrofilm yang berkaitan dengan penggambaran Mesir, pendudukan Muslim dan sebagian tokoh nasioanal Mesir dll.

B. Ruang miniatur Film Jurnal: Kamar No. X
Di ruangan ini terdapat mikrofis dan mikrofilm jurnal yang telah selesai percetakannya (sepert al-Bashir, al Muqattham, al Muayyid, al Balaghah, al Wathan, Kawkab Syarq, al Tankit wa Tabkit, al Waqa’i al Misriyyah), demikian juga terdapat sejumlah jurnal yang disimpan dalam mikrofis yang dikirm dari Amerika serikat, denagn cara barter yang jumlahnya mencapai 3000 judul buku dan sebagian jurnal yang dikirim dari negara-negara Arab, tersedia pula layanan foto kopi.

7. Lantai Ketujuh
A. Ruangan Perpustakaan al-Muhdah: Kamar No. XI
Runagn ini mencakup perpustakaan orang-orang terkenal, para sestrawan dan para pemiir Mesir, seperti perpustakaan Abbas al-Aqqad, al-Taymuriyyah, al-Zakiyyah, Thal’at, aisyah Abdurrahman, Mahmud Badawi, yang memakai sistem rak-rak terbuka.

B. Ruang Pustaka Khusus : Kamar No. XII
Ruangan ini mencakup sejumlah perpustakaan yang berafiliasi ke Darul Kutub sejak istana kerajaan dan rumah-rumah para pemikir dan bangsawan setelah revolusi juli yang mencakup buku buku langka, manuskrip, peta, dan album seperti perpustakaan Yusuf Kamal, Istana Abidin, Putri Nazily, dan lain-lain ynag memakai sistem rak-rak terbuka.

8. Situs Perpustakaan
Situs perpustakaan Darul Kutub terdiri dari maklumat maklumat tentang sejarah perpustakaan, kantor, administrasi, serta pelayanannya. Memungkinkan lewat web tersebut dapat memasuki web-web lain dai perpustakaan-perpustakaan nasional yang terkenal dan perpustakaan perpustakaan umum yang besar dalam skala internasioanal. Disamping itu juga tersedia pelayanan konsultasi dan menerima pembelian.

Pelayanan yang diberikan oleh ruangan-ruangan Darul Kutub:
A.Memberikan jawaban langsung atas pertanyaan pertanyaan peneliti lewat data
B.Memberikan jawaban tidak langsung lewat telpon, fax, surat, dan email
C.Memberikan pelayanan internet dan CD di ruangan multi media secara gratis dan percetakan maklumat maklumat yang dipesan
D.Memberikan pelayanan copy buku dan jurnal dengan harga yang sesuai
E.Memberikan pelayanan copy jurnal dan manuskrip bergambar lewat mikro film dan awal cetakan bergambar lewat mikrofis di atas kertas
F.Memberikan mikro film gambar gambar jurnal dan manuskrip dengan harga yang sesuai

9. Loket Penjualan
Terdapat di bagian kanan pintu masuk bangunan di bagian tengah antar gedung dan Darul Watsaiq. Melayni penjualan cetakan tahqiq al turats dan bagian sastra, markaz watsaiq wa tarikh mishr al mu’ashir, cetakan cetakan yang jarang, juga melayani pnjualan daftar pustaka dan bibliografi khusu Darul Kutub selain buku-buku umum dan pelajaran

Jam Kerja

Jam kerja berlangsung setiap hari selama satu pekan dengan perincian sebagai berikut:
•Jam 9 pagi s/d jam 7 sore (musim panas)
•Jam 9 pagi s/d jam 6 sore (musim dingin)
•Hari Kamis sampai dengan jam 3 sore
•Libur Hari Jum’at dan hari-hari libur nasional

Rute:
Anda dari arah mana aja cari jurusan Tahrir;
•Dari H-7 naik bis (375 coret Ac, 926, 700)
•Dari H-8 naik bis (32 bus mini dan 600)
•Dari H-10 naik bis )132 dan 30 mini bus)

Setelah sampai di terminal Tahrir, naik bis atau eltramco jurusan Qanathir Khairiyyah kira-kira meleati 3 mahatthoh anda akan melihat gedung Darul Kutub di sisi kanan anda. Di samping itu jika anda punya ongkos silahkan juga naik Taxi...hehe!


Referensi :
•http://www.eternalegypt.org
•PMIK GUIDE BOOK Safari Perpustakaan 2007

Baca Selanjutnya...!...

Napak Tilas (1)

Tuesday, October 21, 2008

Kota Tua Bersejarah; Menjelajah Kairo Fathimiyyah*
Oleh: M. Luthfi al-Anshori

Ungkapan yang sering kita dengar dari setiap pengunjung negeri Mesir cukup bervariasi, sesuai dengan obyek yang dituju serta latar belakang masing-masing pengunjung. Seorang pecinta sejarah mungkin akan mengatakan bahwa "Mesir kaya akan peradaban". Seorang pecinta ilmu akan berkata bahwa "Mesir adalah gudang ilmu", seseorang yang suka akan kedisiplinan mungkin akan mengatakan "Mesir itu semrawut dan serba tidak teratur", seorang pemerhati lingkungan akan berkata "Mesir negara yang kotor" dan masih banyak lagi ungkapan dan komentar yang sering kita dengar dari para pengunjung negeri seribu menara ini.

Sudah barang tentu bahwa setiap negara mempunyai sisi-sisi positif dan negatifnya. Mesir pun tidak lepas dari kedua penilaian tersebut. Banyak hal positif yang akan dapat kita jumpai di Mesir, demikian pula banyak hal negatif yang masih dapat kita temukan di mana-mana. Namun seorang mukmin harus cerdas dalam menentukan pilihan-pilihan, madu atau racunkah yang nantinya akan kita bawa pulang ke tanah air tercinta. Tentunya pilihan yang kita harapkan tidak jauh berbeda dengan niat yang kita ikrarkan ketika kita mulai melangkahkan kaki meninggalkan kampung halaman menuju negeri Mesir. Yaitu menuntut ilmu dan meningkatkan keimanan serta ketakwaan kita kepada Sang Pencipta, Allah Swt. Adapun selebihnya, kita dapat memperluas cakrawala, memperkaya tsaqâfah dan mentadaburi sisa-sisa peninggalan sejarah “negeri tua” yang menyimpan segudang “mutiara”.

Di samping kemegahan khazanah intelektual yang termanifestasikan oleh banyaknya universitas, perguruan tinggi, lembaga-lembaga ilmiah, perpustakaan maupun tokoh-tokoh pemikir internasional, Mesir juga sangat kaya dengan beragam peninggalan sejarah dan peradaban. Jika sisi ilmiah itu telah jamak diketahui dan dapat dinikmati oleh kalangan internasional secara luas, tidak begitu dengan sisi yang lain; yaitu sisi sejarah dan bukti nyata hasil kretifitas anak manusia yang kala itu telah mencapai titik kejayaan luar biasa. Ya, hingga puluhan ribu mahasiswa yang berdatangan dari berbagai penjuru duniapun tampaknya belum banyak yang melirik ataupun tertarik untuk menelusuri “situs-situs mewah” ini.

Kota seribu menara adalah julukan yang akrab disandangkan untuk ibu kota negeri Mesir, Kairo. Namun julukan yang telah familiar itu apakah telah dibuktikan secara nyata oleh para pengunjung, terlebih para mahasiswa yang cukup lama bermukim di atas buminya? Panorama masjid-masjid berkubah yang tetap gagah dan tak goyah walau diterpa angin dan badai. Bangunan-bangunan kuno yang masih lestari dengan segenap legendanya. Kairo sungguh kaya dan semakin lengkap dengan itu semua. Sebuah pesona pemandangan klasik yang mampu memberikan gambaran utuh sejarah kegemilangan masa lampau. Kairo dengan beragam masjid tua yang tak lekang dimakan usia, Kairo dengan benteng-benteng perkasanya yang mengisahkan semburat keberanian perjuangan. Maka dengan itu, marilah kita sejenak melakukan safari budaya, menelusuri secuil dari kekayaan peninggalan sejarah itu, di sebuah kawasan eksotik Mesir, Kairo Fathimiyyah.

Kawasan itu sejatinya terletak tidak begitu jauh dari pusat aktifitas perkuliahan mahasiswa al-Azhar Fakultas Ilmu-Ilmu Agama, Husein-Darrasah. Meskipun demikian, tidak banyak dari para mahasiswa yang mau atau tertarik untuk menelusuri situs-situs bersejarah itu. Entah apakah karena ketidaktahuan mereka, atau karena memang sengaja dan merasa tak perlu mengenalinya secara lebih dekat. Padahal jika kita mau menelusuri Kairo secara detail dan lengkap, niscaya akan kita temukan pesona indahnya, yang mengilhami kekayaan batin yang tak terperikan.

Tidak jauh dari kawasan Darrasah ada “Bab el-Nashr” yang merupakan salah satu gerbang dari beberapa gerbang benteng yang terdapat di kota Kairo. Jika ditempuh dari arah Madinatul Bu’uts al-Azhar, gerbang itu dapat ditemukan berhadapan dengan lahan pekuburan yang terletak di pinggiran jalan menuju Bab el-Sya’riyyah, belokan ke kanan pojokan area pekuburan para ruas jalan menuju arah Darrasah. Gerbang itu termasuk salah satu bangunan perang (benteng pertahanan) di masa Dinasti Fathimiyyah. Ia berbentuk persegi empat yang kokoh karena dibangun dari bebatuan balok ukuran besar. Akhirnya tersusunlah sebuah gerbang dengan ukuran lebar sisi depan 24,22 meter, dengan ketebalan 20 meter dan ketinggian 25 meter.

Tidak jauh dari “Bab el-Nashr” kita akan menemukan “Bab el-Futuh” yang juga didirikan pada masa Dinasti Fathimiyyah atas perintah Jauhar as-Siqly, dan selesai disempurnakan pada masa pemerintahan Badr al-Gamaly tahun 480 H/1087 M yang kini dapat kita temukan terletak di samping Masjid al-Hakim bi Amrillah. Bab (gerbang/pintu) ini terdiri dari dua menara silinder yang mengapit pintu masuknya. Guna memperingkas ruang, dalam tulisan kali ini kita akan memilih “Bab el-Futuh” sebagai pintu masuk menelusuri beberapa sudut bersejarah Kairo Fathimiyyah.

Dengan memasuki “Bab el-Futuh” kita akan menjumpai “Masjid al-Hakim bi Amrillah” yang terletak berdampingan dengannya. Masjid ini dibangun tahun 380 H/990 M pada masa pemerintahan al-Aziz Billah al-Fathimy, raja kedua Dinasti Fathimiyyah. Al-Aziz Billah sendiri adalah putra dari al-Mu'iz Lidinillah, raja pertama Dinasti Fathimiyyah yang berasal dari Maroko. Namun beliau telah meninggal sebelum pembangunan masjid ini selesai, hingga akhirnya disempurnakan oleh putranya al-Hakim bi Amrillah, raja ketiga Dinasti Fathimiyyah, pada tahun 403 H/1013 M. Maka masjid ini dinisbatkan kepadanya, karena dialah yang meneruskan dan menyempurnakan pembangunan masjid ini.
Masjid al-Hakim bi Amrillah adalah masjid kedua yang dibangun pada masa Dinasti Fathimiyyah di Mesir, yang sebelumnya telah membangun Masjid al-Azhar. Dan Masjid ini juga merupakan pusat ilmu kedua setelah Masjid al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyyah.

Di dalam masjid, terdapat sumur yang airnya hingga saat ini masih mengalir dan dipakai untuk berwudhu. Menurut keterangan petugas masjid dan penilik benda-benda bersejarah Mesir, air yang dihasilkan dari sumur tersebut rasanya mirip dengan Air Zam-Zam. Di Masjid ini juga terdapat dua mihrab. Mihrab yang pertama dibangun pada masa Dinasti Fathimiyyah, yang bercirikan tertulis Muhammad wa Ali (Muhammad dan Ali) karena semaraknya madzhab Syi’ah pada masa itu. Dan mihrab yang kedua dibuat pada Dinasti Mamalik, yang letaknya di samping Mihrab Fathimiyyah. Masjid ini merupakan masjid terluas kedua di Kairo setelah Masjid Ibnu Thulun.

Keluar dari Masjid al-Hakim bi Amrillah kita dapat melanjutkan perjelajahan menyusuri jalanan yang cukup semrawut dengan aroma kunonya di beberapa bangunan sekelilingnya. Obyek penting selanjutnya adalah “Bait el-Suhaemy”. Ia merupakan salah satu rumah peninggalan bersejarah di Mesir yang menyimpan berbagai keistimewaan khusus di dalamnya. Maka tidak heran jika para wisatawan manca negara hadir untuk menyaksikan rumah bersejarah tersebut.

Bait el-Suhaemy terhitung sebagai salah satu tempat berziarah atau tempat berkunjung terkenal yang menghadirkan satu contoh tersendiri dari berbagai corak arsitektur bangunan tempat tinggal khusus, bahkan ia juga terhitung sebagai satu-satunya rumah ideal yang menghadirkan keindahan bangunan Islam pada masa Utsmaniyyah di Mesir. Adapun rahasia dari penamaan yang langka ini terkembali pada bani/keluarga terakhir yang tinggal di dalamnya. Yaitu keluarga Syeikh Muhammad Amin al-Suhaemy yang merupakan Syeikh Ruwâq al-Atrâk di al-Azhar al-Syarîf dan beliau meninggal pada tahun 1928 M.

Bait el-Suhaemy dibangun pada masa Dinasti Utsmaniyyah tahun 1648 M oleh Syeikh Abdul Wahab at-Thablawy. Pembangunan rumah ini dilaksanakan dalam beberapa tahap hingga akhirnya jadi seperti yang masih ada saat kini. Bait al-Suhaemy terdiri dari dua bagian. Pertama adalah bagian selatan yang didirikan oleh Syeikh Abdul Wahab at-Thablawy tahun 1058 H – 1648 M. Kedua adalah bagian utara yang didirikan oleh Ismail bin Syalby pada tahun 1211 H – 1796 M, lalu dua bagian ini akhirnya ia gabungkan menjadi satu. Pada tahun 1931 M, pemerintah Mesir membeli rumah ini dari para pewarisnya dengan harga 6.000 Pound Mesir, dan menghabiskan 1000 Pound untuk melakukan perbaikan.

Setelah beberapa saat singgah di halaman Bait al-Suhaemy, kita bisa melanjutkan perjalanan melewati beberapa masjid kuno yang menampakkan kegagahan bangunannya. Beberapa di antaranya adalah Madrasah dan Masjid Kamiliya (1180 – 1238 M), Masjid al-Aqmar (1125 M), Madrasah dan Masjid Barquq (1386 M), hingga akhirnya sampai pada Masjid Sayyidna Husain dan Masjid al-Azhar (970 M). Ketiga masjid yang disebutkan terakhir itu tergolong masjid-masjid besar yang ada di Kairo. Masjid Barquq sendiri jika kita amati secara lebih dekat akan menampakkan kemegahan dan kekokohannya, dengan kedua menaranya yang menjulang tinggi mencakar langit.

Sementara Masjid Husain adalah semacam masjid Istiqlal-nya Jakarta, yang merupakan masjid Jami’ resmi pemerintahan. Ia termasuk masjid tertua Mesir yang dibangun pada tahun 1154 M, terletak di dekat sebuah pasar masyhur Khan el-Khalily. Masjid ini dianggap sebagai salah satu situs suci Islam di Kairo, yang dibangun di atas pekuburan para khalifah Dinasti Fathimiyyah, sebuah fakta yang baru ditemukan kemudian setelah dilakukan proses penggalian. Di dalam masjid terdapat sebuah makam yang diyakini sebagai tempat di mana kepala Sayyidina Husain dikuburkan, yang masih dapat kita temui hingga kini.

Sedang masjid al-Azhar, yang sudah sangat familiar di kalangan mahasiswa, juga merupakan peninggalan Dinasti Fathimiyyah yang menyimpan segudang sejarah. Ia adalah masjid pertama Dinasti Fathimiyyah, yang juga difungsikan sebagai pusat pengkajian ilmu-ilmu agama. Sebelum akhirnya menganut madzhab Sunni, konon masjid al-Azhar dikuasasi oleh orang-orang Syi’ah.

Tidak jauh dari masjid al-Azhar, dengan menelusuri sepanjang jalan Husain ke Arah Attaba kita akan menemukan “Bab Zuwayla”. Terletak tidak jauh sebelum Bab Zuwayla terdapat sebuah masjid besar yang dikenal dengan sebutan "Red Mosque". Ia adalah “Masjid al-Muayyad” yang didirikan oleh sultan al-Muayyad dan selesai dibangun pada tahun 1422 M.

Adapun Bab Zuwayla, ia merupakan salah satu gerbang terbesar di Kairo yang didirikan pada tahun 485 H – 1092 M. Ia dikenal juga dengan sebutan “Bawwabah al-Mutawally” (gerbang al-Mutawally). Pintu gerbang Zuwayla dahulu pernah menjadi sejarah tempat pelaksanaan hukuman gantung pertama di Mesir. Pintu ini dikenal dengan pintu Mutawally karena dinisbatkan kepada seorang ahli ibadah dan orang shaleh terkenal yang bernama Syaikh Mutawally. Syaikh Mutawally terkenal mempunyai banyak karamah, di antaranya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, khususnya sakit gigi, dengan cara pengobatan yang tentu sangat berlainan dengan ahli lainnya. Di pintu ini kita juga akan menyaksikan banyak gigi serta rantai yang dahulu dipakai untuk menggantung orang jahat. Setelah mengalami perbaikan selama kurang lebih 900 tahun, Bab Zuwayla yang merupakan peninggalan bersejarah Dinasti Fathimiyyah kembali diresmikan dan dibuka pada hari Ahad tanggal 14 September 2003.

Terletak sekitar 100 meter di depan Bab Zuwayla terdapat “Masjid al-Shalih Thala'i” yang dibangun pada tahun 1160 M oleh amir Shalih Thala'i bin Razik. Masjid ini dibangun dengan bentuk memanjang di atas bangunan bawah tanah. Maka masjid ini dijuluki sebagai salah satu masjid gantung atau “masâjid al-mu'allaqah”.

Demikianlah sekelumit penelusuran di beberapa ruas Islamic Cairo yang terdapat di sekitar kawasan Kairo Fathimiyyah. Sebagaimana yang tercatat di bagian atas tulisan ini, Kairo terlalu kaya dengan peninggalan sejarah dan kebudayaannya, sehingga tidak dapat kita jelajahi dalam waktu sekejap mata. Tentunya kita akan membutuhkan cukup tenaga, waktu maupun biaya untuk dapat mengakrabi kota Kairo secara detail, lengkap dengan data-data sejarahnya. Maka selamat membaca, menjelajah dan mencicipi aroma kekayaan sejarah sang kota tua, kota seribu menara!.[]

*Untuk melihat foto-foto kawasan Kairo Fathimiyyah, silahkan buka di sini!

Baca Selanjutnya...!...

Safari Perpustakaan (1)

Sunday, October 19, 2008


Maktabah al-Azhar al-Syarief
Oleh: M. Luthfi al-Anshori, dkk.
Prolog

Semenjak awal kaum muslimin sangat intens terhadap buku dan perpustakaan. Karena buku (baca: kitab) merupakan mu’jizat teragung nabi mereka, Muhammad Saw. Ayat al-Quran yang pertama kali turun pun menyinggung urgensitas ilmu pengetahuan dan membaca. “Iqra` bi ismi rabbika alladzi khalaq. Khalaqa al-insâna min ‘alaq. Iqra` wa rabbuka al-akram. Alladzî ‘allama bi al-qalam”.(QS. al-Alaq: 1-4).

Di samping ayat al-Qur’an tadi Nabi Muhammad Saw. juga bersabda: “Barang siapa menempuh sebuah jalan dalam rangka untuk mencari ilmu niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”.(H.R. Muslim).

Bertolak dari prinsip itulah masjid-masjid kaum muslimin pada zaman dahulu, di samping sebagai tempat beribadah juga dimanfaatkan sebagai tempat belajar dan mengkaji ilmu-ilmu agama. Masjid–masjid itu berperan meningkatkan ranah keilmuan, di samping aspek ruhaniah. Sejarah telah mencatat, baik di barat maupun di timur, bahwa perhatian kaum muslimin terhadap buku sangat tinggi, mengingat nilai pentingnya sebuah ilmu. Untuk itulah para pembesar kaum muslimin dan punggawanya sangat memperhatikan pengumpulan buku dan penghimpunannya. Mereka mengerahkan segala daya dan upaya yang besar demi melakukan hal itu.

Perpustakaan al-Azhar Lama

Perpustakaan al-Azhar yang ada sekarang ini bukanlah seperti yang ada dahulu, sebagaimana yang sering dikatakan oleh para sejarawan. Akan tetapi perpustakaan baru yang kini ada adalah jelmaan dari reruntuhan sejarah perpustakaan lama. Perpustakaan al-Azhar -baik yang lama ataupun baru- tidak banyak mendapat perhatian sejarawan secara khusus. Ini tidaklah aneh, karena al-Azhar sendiri pun belum mendapatkan perhatian yang layak dan sesuai dengan nama besarnya sebagai pengemban misi keilmuan selama lebih dari seribu tahun. Perhatian itu baru muncul setelah adanya usaha beberapa penulis pada beberapa abad terakhir.

Biasanya sumber-sumber sejarah hanya menyebut perpustakaan al-Azhar lama sebatas sebagai pengetahuan global saja. Itu pun tak lebih dari hanya sekadar mereportase ucapan Ibnu Muyassar dalam bukunya “Akhbâr Mishr” tahun 517 H. Dalam buku itu dikatakan bahwa seorang dâ’i al-du’ât yang bernama Abu al-Fahr Shâlih memangku jabatan sebagai Khatîb di Masjid al-Azhar sekaligus mengurusi perpustakaan masjid tersebut. Hal ini tentunya mengisyaratkan pentingnya perpustakaan al-Azhar, sampai-sampai kepengurusannya diembankan kepada dâ’i al-du’ât (petinggi agama yang kedudukannya sederajat lebih rendah dari qâdhi qudhât) sejak akhir abad ke-5 Hijriah. Pada masa itu gubernur Mesir memerintahkan supaya sebagian buku yang berada di Dâr al-Hikmah dipindahkan ke masjid al-Azhar. Jumlah buku yang ada pada masa itu mencapai lebih dari 50.000.

Dan ketika orang-orang Perancis melancarkan invasi ke Mesir dan berhasil merobohkan masjid al-Azhar, mereka juga merampas banyak buku yang ada di sana yang kemudian membawanya ke perpustakaan Paris. Buku-buku tersebut kini menjadi kebangaan tersendiri bagi perpustakaan Perancis.

Perpustakaan al-Azhar Baru

Perpustakaan al-Azhar baru termasuk perpustakaan terbesar kedua di Mesir setelah Dâr el-Kutub karena menyimpan banyak sekali koleksi buku dan manuskrip klasik pada abad-abad awal Hijriah.

Salah satu sistem yang diterapkan al-Azhar pada masa lampau adalah apa yang mereka sebut sebagai sistem arwiqah; yaitu merupakan gedung-gedung yang dihuni mahasiswa asing yang meninggalkan negara mereka guna menuntut ilmu. Peredaran buku-buku yang ada di gedung tersebut tidak seperti yang lazim berlaku di perpustakaan-perpustakaan. Pemanfaatan perpustakaan pada waktu itu berada di bawah aturan Syaikh ruwaq yang bertugas menjaga dan merawat buku-buku yang ada di perpustakaaan. Jumlah ruwaq yang ada di masjid al-Azhar ketika itu mencapai sekitar dua puluh tujuh.

Beberapa masjid dan sekolah kuno pada masa itu kebanyakan memiliki perpustakaan seperti ini. Buku-buku yang ada di dalamnya sering hilang di tangan peminjam yang tidak bertanggungjawab. Hal inilah yang mendorong Syaikh Muhammad ‘Abduh, Mufti Mesir ketika itu, untuk mengusulkan dibangunnya perpustakaan baru, yang kemudian disetujui oleh Dewan Administrasi al-Azhar dan pembangunannya dilaksanakan pada awal Muharram 1314 H/1897 M. Selanjutnya buku-buku yang sebelumnya berada di arwiqah dipindahkan ke satu tempat khusus. Kala itu mereka mengalami kesulitan dalam proses penyalinan dan perbaikan manuskrip yang ada karena telah banyak yang rusak. Para pegawai dan anggota majlis saat itu secara langsung ikut menyunting berbagai buku tersebut yang kemudian diklasifikasikan ke dalam berbagai varian disiplin ilmu.

Tidak hanya berhenti sampai di sana saja, Syaikh Muhammad ‘Abduh juga menghimbau pembesar dan pemuka agama supaya menghibahkan buku-buku mereka. Ajakan Syaikh Muhammad ‘Abduh rupanya tidak hanya bertepuk sebelah tangan. Banyak di antara mereka yang menyambut inisiatif Muhammad ‘Abduh seperti Syaikh Hasunah al-Nawawi (Syaikh al-Azhar saat itu) yang menghibahkan perpustakaannya. Selainnya juga datang dari ahli waris Sulaimân Bâsyâ serta pembesar al-Azhar lainnya.

Koleksi Perpustakaan

Sebagaimana perpustakaan lain, perpustakaan al-Azhar tumbuh bersama berjalannya zaman. Yang awalnya kecil, tidak memiliki banyak koleksi menjadi bertambah kuantitas dan jenis buku-buku yang ada di sana. Faktor pendorong bertambahnya koleksi itu antara lain adalah maraknya percetakan, di samping juga hibah dan pembelian buku-buku baru. Di antara buku-buku itu antara lain: berbagai jenis Mushaf, disiplin ilmu Hadits, Tafsir, Ilmu Hadits, Ushul al-Fiqh, Fiqh, Nahwu, Sharaf, Balaghah, Mantiq, Tasawwuf, Matematika, Kedokteran, dan lain-lain yang mencapai lebih dari 128.500 buku,, yang terangkup dalam 63 disiplin ilmu.

Di samping itu, perpustakaan al-Azhar juga memiliki beberapa koleksi antik yang sulit ditemukan di berbagai perpustakaan lain. Di antara buku-buku langka itu adalah:

1. Dua buah mushaf ditulis tahun 465 H, satu manuskrip mushaf ditulis tahun 528, dan satu manuskrip mushaf ditulis tahun 741 H.

2. “Al-Ri’âyah li tajwîdi al-Qirâ`ât wa Tahqiqi Lafdzi al-Tilâwah” ditulis tahun 757 H, “Al-`Âlî al-Fâridâh fi Syarhi al-Qashîdah” ditulis tahun 735 H, "Ibrâzu al-Ma`âni min Hirzi al-Amâni" ditulis tahun 706 H, “Syarh al-Syathibiyyah” li-al-Ja`bari ditulisa tahun 839 H.

3. “Tafsir Gharîbu al-Quran li al-Sajastâni” ditulis tahun 514 H, “Tafsir Surat al-Fâtihah li al-Iqlîsyi” ditulis tahun 627 H, “al-Kassyâf li al-Zamakhsyari” ditulis tahun 654 H (naskah asli penulis).

4. “Gharîb al-Hadits li Ibni Salâm” ditulis tahun 311 H, Juz Keempat dari Musnad Abi `Awânah ditulis 617 H, Juz Satu dari “al-Ilmâm fî Ahâdîtsi al-Ahkâm li Ibni Daqîq al-Îd” ditulis tahun 736 H.

5. “`Umdatu al-Thâlibîn” li Ibni al-Wazîr ditulis tahun 603 (naskah asli penulis), “Zâdu al-Mulk” li Ibni al-Mudzaffir ditulis tahun 860 H, “Tafdhîlu `Aqdi al-Farâidh” li Ibni al-Syuhnah tahun 596 H.

6. “Rusûm al-Khilâfah” li al-Shâbî ditulis tahun 455 H, “Mu`jam Mâ Ista`jama li al-Bakrî fî Taqwîmi al-Buldân” ditulis tahun 596 H, “al-Mu`jam al-Mu`assis li al-Mu`jam al-Mufahris” li Ibni Hajr, yang merupakan mu`jam nama-nama Syaikhnya ditulis tahun 829 H (naskah asli penulis).

Keistimewaan Perpustakaan Al-Azhar

Perpustakaan al-Azhar memiliki keistimewaan tersendiri dengan melimpahnya buku-buku yang membahas ilmu-ilmu Arab dan keagamaan secara mendetail. Hal ini bisa dilihat di dalam koleksi berbagai disiplin ilmu yang ada. Hal itu maklum, karena buku-bukunya kebanyakan didapatkan dari perpustakaan para `ulama dan pemberian orang-orang dermawan.

Di antara keistimewaan perpustakaan al-Azhar adalah tersedianya manuskrip-manuskrip yang dijadikan bahan penelitian bagi para mahasiswa yang jarang sekali didapatkan di berbagai perpustakaan lain. Di samping juga cetakan buku yang ada yang secara global mencapai 128.500 koleksi (buku maupun manuskrip).

Misi Perpustakaan al-Azhar

Misi yang diemban perpustakaan al-Azhar adalah membantu peneliti, penulis tesis maupun disertasi, dan masyarakat umum dalam mendapatkan referensi yang tidak didapatkan di perpustakaan-perpustakaan lain. Dan tujuan itu semua hanya satu: “mentransformasikan ilmu, budaya dan pengetahuan”.

Jam Kerja:

Maktabah al-Azhar buka setiap hari mulai pukul 10.00 s/d 14.00 CLT, kecuali hari Jum’at dan Sabtu, dan hari-hari libur nasional.

Rute:

Bagi mahasiswa al-Azhar yang pernah mengajukan Tholab Musa’adah ke Jam’ittah Syar’iyyah atau mengajukan Tholab Minhah ke Idarah Masyikhah Azhar pasti sudah tak asing lagi dengan Perpustakaan al-Azhar, karena ia terletak diapit oleh Masyikhah al-Azhar dan Jam’iyyah Syar’iyyah. Hehehehe…[]

Referensi:
· Al-Lamhât al-Syadhiyyah ‘an al-Maktabah al-Azhariyyah, karya Dr. Ahmad Khalifah Muhammad.

Baca Selanjutnya...!...

Sebuah Potret (1)

Saturday, October 4, 2008

“Mengadili” Sense of Politic??*
Oleh: M. Luthfi al-Anshori

Manusia, dalam satu waktu dan keadaan yang sama, adalah seorang mahluk penyendiri/individu dan mahluk sosial. Sebagai mahluk individu, ia senantiasa melindungi keberadaannya, mempertahankan eksistensinya, dan yang terpenting untuknya adalah memuaskan keinginan pribadinya, dan mengembangkan bakat serta minatnya. Sebagai mahluk sosial, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat sekitarnya, dicintai oleh sesama manusia, untuk saling berbagi kebahagiaan, membuat mereka nyaman dikala tumbuh kesedihan, menjadi penyemangat dalam lemahnya keputus-asa-an, dan juga untuk meningkatkan taraf hidup.

Namun demikian, eksistensi dari hal-hal tersebut sangat berkaitan, bahkan bertentangan, tergantung pada karakter pribadi manusia. Kombinasi khusus tersebut menentukan sampai sejauh mana seseorang dapat mencapai keseimbangan individu dan tetap memberikan sumbangsihnya bagi kehidupan masyarakat. Sangat dimungkinkan bahwa, kedua kekuatan ini, terutama dapat digabungkan karena memang telah melekat pada dirinya. Akan tetapi, kepribadian yang pada gilirannya muncul sebagian besar karena terbentuk; oleh pengaruh lingkungan dimana manusia tersebut tumbuh dan berkembang, struktur masyarakat dimana ia dibesarkan, budaya dari masyarakat, dan oleh penghargaan yang diperolehnya atas tingkah laku serta perbuatan tertentunya.

Konsepsi abstrak “masyarakat” bagi manusia perseorangan adalah keseluruhan hubungan langsung maupun tidak langsung atas masyarakat yang hidup pada masa yang sama atau sebelumnya. Individu tertentu dapat berpikir, berkreasi, merasakan, berjuang dan bekerja oleh dan untuk dirinnya sendiri. Akan tetapi, sebenarnya ia juga tergantung pada masyarakat, -baik secara fisik, intelektual, emosional- sehingga sangat sulit memahami dan memikirkannya di luar kerangka masyarakat. Adalah masyarakat yang menyediakan manusia dengan makanan, pakaian, rumah, perkakas, bahasa, pola pikir, dan hampir semua isi pemikirannya. Hidupnya menjadi nyata setelah bekerja dan berhasil sukses sejak jutaan tahun lampau, dan hingga kini dimana semua hal tersebut tersembunyi di balik sebuah kata, “masyarakat”.

Hal-hal itu adalah bukti, karenanya, ketergantungan seseorang terhadap masyarakat adalah fakta alamiah yang tidak dapat dihilangkan. Senada dengan pernyataan di atas, Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani, lebih jauh ia juga menyatakan bahwa; manusia, selain sebagai mahluk pribadi, juga sebagai mahluk sosial dan mahluk politik (zoon politicon). Manusia tidak dapat hidup sendiri, namun senantiasa membutuhkan keberadaan orang lain. Aristoteles tentu saja mendasari pemikirannya dari analisisnya terhadap realitas manusia pada zamannya. Bahwa, memang manusia secara fitrahnya membutuhkan keberadaan manusia lain.

Lalu, mengapa akhirnya harus menjadi politisi (mahluk politik, red) juga? Karena kita adalah manusia, dan menurut Aristoteles dalam definisi klasiknya tentang politik menyebutkan bahwa, politik adalah master of science, karena manusia hidup tidak pernah lepas dari politik. Manusia adalah mahluk politik (sama dengan “natural born” politisi?), sehingga ilmu pilitik adalah sebuah kunci untuk memahami lingkungan.

Selain Aristoteles, tentunya telah ada dan berkembang banyak sekali definisi tentang politik. Harold Laswell dengan definisi politik itu adalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Ada juga yang mendefinisikan politik sebagai sebuah ilmu yang mempelajari tentang negara menyangkut institusi, hukum dan prosesnya. Selanjutnya politik sebagai the art of possible, lalu politik sebagai kepentingan atau konflik, kemudian politik sebagai sebuah kekuatan (power)/kekuasaan dan karenanya harus dipertahankan (sampai titik darah penghabisan??) . Nampaknya definisi terakhir tentang politik di atas (sebagai kekuasaan), lebih mudah dipahami dan dimengerti secara riil ketimbang yang lainnya.

Manusia, dalam perjalanan hidupnya, sejak kecil hingga dewasa, sesungguhnya senantiasa melakukan praktek “berpolitik”, entah disadarinya maupun tidak. Pada masa kanak-kanak; seorang ‘bocah’ sering menangis untuk mendapatkan pembelaan Mama dan Papa ketika sedang berkelahi dengan saudaranya. Ngambek dan mogok makan supaya dibelikan mainan atau diperbolehkan untuk melakukan sesuatu. Pada masa puber; seorang remaja mulai melakukan serangannya untuk menjalin hubungan dengan orang-orang signifikan di sekolah seperti satpam, tukang parkir, tukang foto copy, ibu kantin untuk mempermudah banyak hal. Pada masa kuliah; para mahasiswa berbondong membina pertemanan baik dengan para pegawai TU supaya di saat-saat genting pengumpulan tugas bisa mendapatkan tambahan sedikit waktu. Dengan dosen-dosen yang tentunya untuk transfer ilmu mereka dan transfer proyek untuk menambah pengalaman, atau supaya bisa menggolkan lebih dari 20 SKS dalam satu semester supaya cepat kuliah. Demikian beberapa contoh “fitrah berpolitik” manusia, dan seterusnya, dalam setiap fase kehidupan seseorang, ia akan senantiasa melakukan praktek-praktek politik untuk memudahkan urusannya.

Sedemikian mengakar ternyata potensi manusia untuk “berpolitik”. Maka tak ayal jika pada zaman sekarang ini, berbagaimacam bentuk dan fariasi politik dapat kita jumpai dengan mudah di mana-mana. Terma “politik” sendiri, bagi beberapa kalangan masyarakat awam, masih dianggap sebagai sebuah momok, yang senantiasa memberikan sense negative dalam pandangan mereka. Politik sering diasosiasikan dengan kata kotor, kejam dan culas, yang membuat mereka yang mendengarnya menjadi jijik. Hal itu nampaknya dipengaruhi oleh ketidaktahuan mereka akan arti politik secara luas.

Hingga saat ini, tingkat kesadaran dan atau pengetahuan masyarakat Indonesia dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak politik masih sangat rendah. Survei yang dilakukan The Asia Foundation pada tahun 2003, sebelum pemilu 2004 yang menghasilkan SBY sebagai presiden menemukan bahwa; 55% dari 1.056 random representative sample di 32 propinsi Indonesia menyatakan tidak mengetahui arti negara demokrasi yang sebenarnya. Mereka belum memahami signifikansi negara demokrasi bagi pemenuhan hak-hak politik, sebagaimana pula mereka tidak mengetahui cara mengartikulasikannya dalam kehidupan politik yang demokratis.

Terkait dengan hasil survei tersebut, kenyataan yang ada menjadi tidak aneh jika mereka memilih partai politik bukan karena program serta visi dan misi yang jelas, atau sebab hal itu akan dapat membawa keadaan menjadi lebih baik. Namun mereka memilihnya karena sekedar partai itu adalah partainya (19%), faktor pemimpinnya –bukan kepemimpinannya- (14%), atau sekedar partai islam (10%), dimana sebagian besar mereka ini (55%) tidak memahami apa yang mereka harapkan untuk dapat dilakukan oleh partai islam tersebut. Yang lebih ironis lagi, sebanyak (14%) mereka tidak tahu alasan memilih partai, dan (14%) sisanya sudah lupa.

Data penelitian itu, serta didukung fenomena yang berkembang saat ini menorehkan secara jelas tentang minimnya pengetahuan mereka tentang hak-hak politik. Pilihan dan dukungan mereka terhadap partai politik bukan didasarkan pada alasan-alasan rasional untuk penggunaan hak-hak politik, tapi merujuk pada alasan yang sangat kental dengan watak sektarianisme, taqlid buta dan sejenisnya. Dalam kondisi yang cukup memprihatinkan ini, negara dan pemerintah yang benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat tentunya sulit untuk diwujudkan dalam dunia konkrit.

Hingga saat ini, dengan semakin maraknya partai-partai politik yang bermunculan, baik dalam ranah ke-indonesia-an maupun dunia global pada umumnya, dengan tanpa diiringi pengetahuan dan pemahaman yang seimbang oleh masyarakat, tentunya akan lebih mempersulit perwujudan dan pemulihan stabilitas keamanan serta perbaikan sebuah tatanan pemerintahan. Setiap orang maupun golongan, kini bebas mendirikan partainya masing-masing (walaupun dengan syarat-syarat tertentu pastinya), entah itu yang praktis maupun pragmatis dan sejenisnya. Yang jelas setiap komponen tersebut akan selalu meng-klaim bahwa dirinyalah yang paling benar dan akan senantiasa berusaha untuk mempertahankan kekuasaan dan eksistensinya.

Hal ini tentu saja telah jauh bergeser dari asas serta nilai yang terkandung dalam fungsi sebuah organisasi tertentu. Pencapaian kehidupan yang mencerminkan nilai rahmatan lil ‘alamin serta perwujudan civil sosiety yang harusnya dikembangkan dan dilabuhkan secara konkrit di bumi pertiwi seakan hanya menjadi utopia yang nyaris sulit diraih dalam realitas kehidupan.

Di atas semua itu, yang harus segera dilakukan untuk dapat memakmurkan dunia dan menyejahterakan masyarakat adalah mensterilkan agama dari tarikan-tarikan politik paktis dan pragmatis. Para agamawan bersama para elite politik memiliki kewajiban untuk mengembalikan agama ke ranahnya yang asal dan genuine sebagai sumber nilai dan etika-moral universal. Dalam posisi semacam itu, agama diharapkan dapat membumikan misi pencerahan atas umat manusia. Potret manusia dalam bingkai politik, untuk dapat mewujdkan keseimbangan kosmos, yang telah menjadi fitrahnya sejak bayi senantiasa harus dibangun dan dipupuk di atas asas maslahah ‘ammah dan rahmatan lil alamin, bukan pemenuhan atas nafsu dan kepentingan pribadi. Wallahu a’lam!

*) Tulisan ini di-publish-kan untuk Diskusi Cyber Perdana Glafeesa , dan pernah dimuat dalam Majalah “Afkar”, PCINU Mesir, edisi XXXVII, 15-30 Februari 2007.

Baca Selanjutnya...!...