Safari Perpustakaan (2)

Saturday, October 25, 2008

Dârul Kutub wa al-Watsâ`iq al-Qaumiyyah
Oleh: M. Luthfi al-Anshori, dkk.

Historiografi Singkat Darul Kutub dan Penamaannya
Darul Kutub didirikan atas dekrit atau ketetapan Ali Pasha Mubarak, Menteri Pendidikan di masa pemerintahan Khedive Ismail, dengan surat keputusan tahun 1286 H/1870 M. Perpustakaan itu pada mulanya dibangun di lantai dasar ruang penguasa Musthafa Fadhil, saudara kandung Khedive Ismail, di ruas jalan al-Jamâmîz. Pengadaan perpustakaan itu dimaksudkan untuk menampung dan menghimpun manuskrip-manuskrip pribadi yang disimpan para pemimpin, penguasa, ulama’, dan para penulis yang berada dan tersebar di masjid-masjid serta pesantren.

Seiring perkembangannya yang cukup pesat dan pertambahan koleksi buku yang semakin banyak, pemerintah akhirnya mendirikan sebuah gedung perpustakaan baru sekaligus sebagai museum (saat ini menjadi Museum Islam) di kawasan Bab el-Khulq. Gedung itu terdiri dari 3 lantai yang meliputi lantai dasar sebagai museum, sedangkan lantai 1 dan 2 sebagai perpustakaan. Setelah proses pembangunan gedung selesai pada tahun 1903 M, koleksi buku yang sebelumnya bedara di ruangan sempit Musthafa Fadhil itu dipindahkan ke sana, dan pada tahun 1904 M mulai dibuka juga gedung untuk para pengunjung dan pengguna perpustakaan.

Konsekuensi logis dari pertambahan buku yang terus berlangsung menyebabkan gedung tersebut tak cukup menampung lebih banyak buku lagi. Akhirnya didirikan gedung baru lagi di kawasan Kurnisy Nil Ramlah Bulaq pada bulan Juli 1961 M. Selama kurang lebih 12 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973 barulah buku-buku dari Bab el-Khulq dipindahkan ke sana. Gedung baru ini dibuka secara resmi pada tahun 1977 M.

Dalam rangka proyek pengembangan perpustakaan, beberapa ruangan khusus di Darul Kutub mengalami pembaruan dan pelengkapan sarananya. Di antaranya adalah ruang penyimpanan berbagai macam manuskrip serta arsip-arsip yang dilengkapi dengan sarana tehnik modern, untuk memudahkan mekanisme para pengguna dalam melakukan penelitian dan pencarian bahan. Koleksi manuskrip Darul Kutub kurang lebih mencapai 57.000 manuskrip yang terdiri dari berbagai jenis kumpulan tema atau disiplin ilmu dengan taraf internasional. Di samping itu Darul Kutub juga menyimpan berbagai jenis kartu pos kuno serta majalah dan surat kabar Arab. Tidak cukup di situ, Darul Kutub juga kaya akan arsip-arsip penting negara yang meliputi surat tanda bukti wakaf, arsip dari berbagai lembaga kementrian yang beraneka ragam dan rekaman-rekaman dari Lembaga Peradilan, yang banyak dibutuhkan oleh banyak kalangan archeolog dan ahli purbakala. Yang menambah keunikan perpustakaan ini karena ia juga mengoleksi berbagai macam mata uang negara-negara Arab kuno yang tertanda tahun 77 H/696 M.

Dalam perjalanan sejarahnya, perpustakaan ini sempat beberapa kali mengalami perubahan nama, antara lain yaitu:
1.Dâr el-Kutub al-Khudawiy pada tahun 1911 M.
2.Dâr el-Kutub al-Mishriy tahun 1927 M.
3.Dâr el-Kutub al-Sulthâniy pada tahun 1961 M.
4.Dâr el-Kutub wa al-Watsâ`iq al-Qaumiyyah (Perpustakaan Buku dan Arsip Nasional) tahun 1956.
5.Al-Hay’ah al-Ammah li al-Kutub (Badan Umum Perpustakaan Nasional) tahun 1971 M.
6.Al-Hay’ah al-Ammah li al-Kutub wa al-Watsâ`iq al-Qaumiyyah (Badan Umum Perpustakaan dan Arsip Nasional) tahun 1994 M.

Struktur Organisasi Badan Pengelola Perpustakaan:
1.Kantor Pusat Perpustakaan, meliputi;
•Kantor pelayanan membaca
•Kantor urusan kesenian
•Kantor urusan pertukaran percetakan
•Kantor pelayanan perpustakaan
2.Kantor Pusat Keilmuan, meliputi;
•Pusat pelayanan, bibliografi dan aritmatika
•Pusat renovasi, penjagaan dan mikro film
•Pusat sejarah Mesir modern
•Pusat otentifikasi dan verifikasi kitab turâts
•Pusat penelitian pendidikan anak-anak.

Misi Direksi Pusat Perpustakaan
Setelah Darul Kutub dikukuhkan sebagai sebuah Perpustakaan Nasional, ia menangani beberapa sektor penting yang antara lain adalah;
1. mengumpulkan produktivitas pemikiran dan wawasan nasional dalam berbagai bentuknya yang bertujuan untuk mendefinisikan dan menjaganya untuk generasi mendatang;
2. menyusun dan menyebarkan bibliografi nasional;
3. mengumpulkan studi dan riset dari buku-buku yang telah terbit dan beredar di kalangan luas yang berkaitan dengan urusan negara, baik dari sisi politik, sejarah, ekonomi, dll;
4. mengumpulkan cetakan yang disebarkan oleh sarana-sarana negara dan mendefinisikannya;
5. pemilihan produksi internasional yang cocok di berbagai cabang ilmu pengetahuan untuk mempermudah tela’ah terhadap bagian yang lain, yang mengantarkan pada ilmu pengetahuan manusia di berbagai disiplin dan mendefinisikannya;
6. pengumpulan kitab-kitab wawasan klasik Arab dan Islam (turâts), sebagai dasar dan gambaran serta mendefinisikannya meletakkannya atas biaya para pelajar. Khusus untuk jurnal, saat ini sudah dikomputerisasi, baik yang lama maupun yang baru;
7. pembuatan unit katalog dan bekerja seperti pusat informasi nasional, serta pelayanan riset ilmu pengetahuan yang dikendalikan dalam sebuah profesionalisme ilmu;
8. memasukkan daftar pustaka jurnal dan buku-buku berdasarkan penghitungan data, baik untuk jumlah yang lampau maupun edisi baru.

Menelisik Lebih Dekat ke Darul Kutub
1. Lantai pertama
a. Kantor keamanan; bertanggung jawab memina identitas pengunjung dan peneliti serta menyerahkan surat izin masuk yang ditinggalkan di ruang penelitian;
b. Pameran Darul Kutub; memuat kumpulan majalah dinding dan fatrien komentar Taufiq Hakim dan Abbas el Aqqad, Fatrien patung ibnu Sina, el Mutanabbi, ali Mubarak, Muhammad abduh, dan sebagian majalah dinding romantis Ahmad Syawqi, Qasim Amin, Raja Faruq

2. Lantai Kedua
A. Mencakup Kantor Umum Urusan Kesesnian:
1. Al-Tazwid (pendaftaran, pembelian, hadiah, langganan jurnal asing dan Arab, dan penyimpanan undang-undang)
2. Al-Faharis (Daftar pustaka Arab, daftar pustaka Eropa, daftar pustaka Asia, dan bibliografi)

B. Ruangan Jurnal: Kamar nomor I
Dilengkapi dengan jurnal-jurnal bahasa Arab dan Asing, baik umum maupun khusus dengan jumlah yang banyak dalam berbagai ilmu pengetahuan, seni dan pendidikan. Memberikansumbangsih peran yang besar atas pelayanan peneliti. Kantor jurnal memberikan pelayanan terhadap masyarakat umum dalam bentuk (pelayanan referensi, peminjaman dan foto copy) ketika diadakannya pameran jurnal-jurnal Arab dan Asing di waktu-waktu terbit sehingga memudahkan untuk para peneliti untuk menelaah dalam jangka waktu yang relatif singkat, sebagaimana disediakan untuk peminjaman. Dan sekarang komputerisasi jurnal lama maupun baru sudah terlaksana.

3. Lantai Ketiga
A. Ruang Utama untuk membaca: Kamar No. II
Memberikan pelayanan terhadap para pembaca dan para peneliti terhadap sebagian besar kitab-kitab yang berbahasa Arab atau asing dari stok yang ada. Dan juru pengarah (guide) yang berada di ruangan memberikan pelayanan untuk membantu para peneliti agar memperoleh data-data buku yang dicari lewat daftar pustaka dan data-data yang sudah ada.

B. Ruang Musik: Kamar No III
Di dalamnya terdapat CD, kaset, not musik dalam jumlah angka yang banyak. Ada juga kumpulan buku, referensi, ensiklopedia musik dalam jumlah yang besar. Terdapat juga kartu pustaka untuk mempermudah pencarian alat-alat audio, kaset maupun buku-buku.

C. Ruang Kesenian: Kamar No IV
Di dalamnya tersedia buku-buku dan referensi yang banyak dalam pelbagai judul seni (sejarah, bangunan, ukiran, gambar, hiasan, dekor). Disamping itu juga terdapat risalah (skripsi, tesis, dan desertasi) universitas yang disimpan di mikrofis di pelbagai spesifikasi seni.

4. Lantai Keempat (Ruang Manuskrip): Kamar No V
Di dalamnya terdapat manuskrip, papirus dan potongan seni yang tersedia dalam aturan susunan rak terkunci. Tredapat pula daftar pustaka yang membantu para peneliti untuk menemukan nomor manuskrip dan judulnya yang tersimpan dalam mikrofilm

5. Lantai Kelima
A. Ruang Insaniyyât: Kamar No. VI
Di ruangan ini terdapat kumpulan yang berharga, berupa referensi dan rujukan berbahasa Arab dan asing dalm pelbagai macam ilmu pengetahuan selain ilmu teknologi. Tersusun berdasarkan sistem dewey al asyar diatar rak-rak yangterbuka. Bagian riset kesenian memberikan pelayanann dalam bentuk jawaban dan penerangan atas pertanyaan yang dilontarkan lewat telepon, surat atau email. Diruangan tersebut juga terdapat terbitan-terbitan baru darul kutub, selebaran daftar buku (yang terdaftyar di ISBN) dan selebaran tambahan berbahasa Arab dan asing. Bagian ini pula yang mengeluarkan tiap bulan produk peikiran baru.
Email bagian riset: referendeb@hotmail.com

B. Ruang Teknologi : Lkamar No VII
Terdapat kumpulan pilihan referensi dan rujukan khusu dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dipamerkan pula katalog bku dan tambahan-tambahan yang memakai rak-rak terbuka.

C. Ruang PBB: Kamar No VIII
Di ruangan ini terdapat seluruh cetakan dan dokumen yang diterbitkan oleh PBB berkaitan dengan perkembangan yang terjadi dalam segmen kehidupan (perekonomian, pembangunan, produksi, pertanian, dll) Semuanya bisa didapatkan di rak-rak terbuka, juga daftar pustaka khusu cetakan PBB.

6. Lantai keenam
A. Ruang Multi Media: Kamar No. IX
Ruangan ini terdapat didalam kamar insaniyyat. Memberikan pelayana internet, kumpulan aset perpustakaan, mikrofilm, CD Room secara gratis bagi para pengguna. Begitu juga memberiakn pelayanan mikrosfis dari awal percetakan tahun 1514-1862 M. Selain kumpulan mikrofilm yang berkaitan dengan penggambaran Mesir, pendudukan Muslim dan sebagian tokoh nasioanal Mesir dll.

B. Ruang miniatur Film Jurnal: Kamar No. X
Di ruangan ini terdapat mikrofis dan mikrofilm jurnal yang telah selesai percetakannya (sepert al-Bashir, al Muqattham, al Muayyid, al Balaghah, al Wathan, Kawkab Syarq, al Tankit wa Tabkit, al Waqa’i al Misriyyah), demikian juga terdapat sejumlah jurnal yang disimpan dalam mikrofis yang dikirm dari Amerika serikat, denagn cara barter yang jumlahnya mencapai 3000 judul buku dan sebagian jurnal yang dikirim dari negara-negara Arab, tersedia pula layanan foto kopi.

7. Lantai Ketujuh
A. Ruangan Perpustakaan al-Muhdah: Kamar No. XI
Runagn ini mencakup perpustakaan orang-orang terkenal, para sestrawan dan para pemiir Mesir, seperti perpustakaan Abbas al-Aqqad, al-Taymuriyyah, al-Zakiyyah, Thal’at, aisyah Abdurrahman, Mahmud Badawi, yang memakai sistem rak-rak terbuka.

B. Ruang Pustaka Khusus : Kamar No. XII
Ruangan ini mencakup sejumlah perpustakaan yang berafiliasi ke Darul Kutub sejak istana kerajaan dan rumah-rumah para pemikir dan bangsawan setelah revolusi juli yang mencakup buku buku langka, manuskrip, peta, dan album seperti perpustakaan Yusuf Kamal, Istana Abidin, Putri Nazily, dan lain-lain ynag memakai sistem rak-rak terbuka.

8. Situs Perpustakaan
Situs perpustakaan Darul Kutub terdiri dari maklumat maklumat tentang sejarah perpustakaan, kantor, administrasi, serta pelayanannya. Memungkinkan lewat web tersebut dapat memasuki web-web lain dai perpustakaan-perpustakaan nasional yang terkenal dan perpustakaan perpustakaan umum yang besar dalam skala internasioanal. Disamping itu juga tersedia pelayanan konsultasi dan menerima pembelian.

Pelayanan yang diberikan oleh ruangan-ruangan Darul Kutub:
A.Memberikan jawaban langsung atas pertanyaan pertanyaan peneliti lewat data
B.Memberikan jawaban tidak langsung lewat telpon, fax, surat, dan email
C.Memberikan pelayanan internet dan CD di ruangan multi media secara gratis dan percetakan maklumat maklumat yang dipesan
D.Memberikan pelayanan copy buku dan jurnal dengan harga yang sesuai
E.Memberikan pelayanan copy jurnal dan manuskrip bergambar lewat mikro film dan awal cetakan bergambar lewat mikrofis di atas kertas
F.Memberikan mikro film gambar gambar jurnal dan manuskrip dengan harga yang sesuai

9. Loket Penjualan
Terdapat di bagian kanan pintu masuk bangunan di bagian tengah antar gedung dan Darul Watsaiq. Melayni penjualan cetakan tahqiq al turats dan bagian sastra, markaz watsaiq wa tarikh mishr al mu’ashir, cetakan cetakan yang jarang, juga melayani pnjualan daftar pustaka dan bibliografi khusu Darul Kutub selain buku-buku umum dan pelajaran

Jam Kerja

Jam kerja berlangsung setiap hari selama satu pekan dengan perincian sebagai berikut:
•Jam 9 pagi s/d jam 7 sore (musim panas)
•Jam 9 pagi s/d jam 6 sore (musim dingin)
•Hari Kamis sampai dengan jam 3 sore
•Libur Hari Jum’at dan hari-hari libur nasional

Rute:
Anda dari arah mana aja cari jurusan Tahrir;
•Dari H-7 naik bis (375 coret Ac, 926, 700)
•Dari H-8 naik bis (32 bus mini dan 600)
•Dari H-10 naik bis )132 dan 30 mini bus)

Setelah sampai di terminal Tahrir, naik bis atau eltramco jurusan Qanathir Khairiyyah kira-kira meleati 3 mahatthoh anda akan melihat gedung Darul Kutub di sisi kanan anda. Di samping itu jika anda punya ongkos silahkan juga naik Taxi...hehe!


Referensi :
•http://www.eternalegypt.org
•PMIK GUIDE BOOK Safari Perpustakaan 2007

Baca Selanjutnya...!...

Napak Tilas (1)

Tuesday, October 21, 2008

Kota Tua Bersejarah; Menjelajah Kairo Fathimiyyah*
Oleh: M. Luthfi al-Anshori

Ungkapan yang sering kita dengar dari setiap pengunjung negeri Mesir cukup bervariasi, sesuai dengan obyek yang dituju serta latar belakang masing-masing pengunjung. Seorang pecinta sejarah mungkin akan mengatakan bahwa "Mesir kaya akan peradaban". Seorang pecinta ilmu akan berkata bahwa "Mesir adalah gudang ilmu", seseorang yang suka akan kedisiplinan mungkin akan mengatakan "Mesir itu semrawut dan serba tidak teratur", seorang pemerhati lingkungan akan berkata "Mesir negara yang kotor" dan masih banyak lagi ungkapan dan komentar yang sering kita dengar dari para pengunjung negeri seribu menara ini.

Sudah barang tentu bahwa setiap negara mempunyai sisi-sisi positif dan negatifnya. Mesir pun tidak lepas dari kedua penilaian tersebut. Banyak hal positif yang akan dapat kita jumpai di Mesir, demikian pula banyak hal negatif yang masih dapat kita temukan di mana-mana. Namun seorang mukmin harus cerdas dalam menentukan pilihan-pilihan, madu atau racunkah yang nantinya akan kita bawa pulang ke tanah air tercinta. Tentunya pilihan yang kita harapkan tidak jauh berbeda dengan niat yang kita ikrarkan ketika kita mulai melangkahkan kaki meninggalkan kampung halaman menuju negeri Mesir. Yaitu menuntut ilmu dan meningkatkan keimanan serta ketakwaan kita kepada Sang Pencipta, Allah Swt. Adapun selebihnya, kita dapat memperluas cakrawala, memperkaya tsaqâfah dan mentadaburi sisa-sisa peninggalan sejarah “negeri tua” yang menyimpan segudang “mutiara”.

Di samping kemegahan khazanah intelektual yang termanifestasikan oleh banyaknya universitas, perguruan tinggi, lembaga-lembaga ilmiah, perpustakaan maupun tokoh-tokoh pemikir internasional, Mesir juga sangat kaya dengan beragam peninggalan sejarah dan peradaban. Jika sisi ilmiah itu telah jamak diketahui dan dapat dinikmati oleh kalangan internasional secara luas, tidak begitu dengan sisi yang lain; yaitu sisi sejarah dan bukti nyata hasil kretifitas anak manusia yang kala itu telah mencapai titik kejayaan luar biasa. Ya, hingga puluhan ribu mahasiswa yang berdatangan dari berbagai penjuru duniapun tampaknya belum banyak yang melirik ataupun tertarik untuk menelusuri “situs-situs mewah” ini.

Kota seribu menara adalah julukan yang akrab disandangkan untuk ibu kota negeri Mesir, Kairo. Namun julukan yang telah familiar itu apakah telah dibuktikan secara nyata oleh para pengunjung, terlebih para mahasiswa yang cukup lama bermukim di atas buminya? Panorama masjid-masjid berkubah yang tetap gagah dan tak goyah walau diterpa angin dan badai. Bangunan-bangunan kuno yang masih lestari dengan segenap legendanya. Kairo sungguh kaya dan semakin lengkap dengan itu semua. Sebuah pesona pemandangan klasik yang mampu memberikan gambaran utuh sejarah kegemilangan masa lampau. Kairo dengan beragam masjid tua yang tak lekang dimakan usia, Kairo dengan benteng-benteng perkasanya yang mengisahkan semburat keberanian perjuangan. Maka dengan itu, marilah kita sejenak melakukan safari budaya, menelusuri secuil dari kekayaan peninggalan sejarah itu, di sebuah kawasan eksotik Mesir, Kairo Fathimiyyah.

Kawasan itu sejatinya terletak tidak begitu jauh dari pusat aktifitas perkuliahan mahasiswa al-Azhar Fakultas Ilmu-Ilmu Agama, Husein-Darrasah. Meskipun demikian, tidak banyak dari para mahasiswa yang mau atau tertarik untuk menelusuri situs-situs bersejarah itu. Entah apakah karena ketidaktahuan mereka, atau karena memang sengaja dan merasa tak perlu mengenalinya secara lebih dekat. Padahal jika kita mau menelusuri Kairo secara detail dan lengkap, niscaya akan kita temukan pesona indahnya, yang mengilhami kekayaan batin yang tak terperikan.

Tidak jauh dari kawasan Darrasah ada “Bab el-Nashr” yang merupakan salah satu gerbang dari beberapa gerbang benteng yang terdapat di kota Kairo. Jika ditempuh dari arah Madinatul Bu’uts al-Azhar, gerbang itu dapat ditemukan berhadapan dengan lahan pekuburan yang terletak di pinggiran jalan menuju Bab el-Sya’riyyah, belokan ke kanan pojokan area pekuburan para ruas jalan menuju arah Darrasah. Gerbang itu termasuk salah satu bangunan perang (benteng pertahanan) di masa Dinasti Fathimiyyah. Ia berbentuk persegi empat yang kokoh karena dibangun dari bebatuan balok ukuran besar. Akhirnya tersusunlah sebuah gerbang dengan ukuran lebar sisi depan 24,22 meter, dengan ketebalan 20 meter dan ketinggian 25 meter.

Tidak jauh dari “Bab el-Nashr” kita akan menemukan “Bab el-Futuh” yang juga didirikan pada masa Dinasti Fathimiyyah atas perintah Jauhar as-Siqly, dan selesai disempurnakan pada masa pemerintahan Badr al-Gamaly tahun 480 H/1087 M yang kini dapat kita temukan terletak di samping Masjid al-Hakim bi Amrillah. Bab (gerbang/pintu) ini terdiri dari dua menara silinder yang mengapit pintu masuknya. Guna memperingkas ruang, dalam tulisan kali ini kita akan memilih “Bab el-Futuh” sebagai pintu masuk menelusuri beberapa sudut bersejarah Kairo Fathimiyyah.

Dengan memasuki “Bab el-Futuh” kita akan menjumpai “Masjid al-Hakim bi Amrillah” yang terletak berdampingan dengannya. Masjid ini dibangun tahun 380 H/990 M pada masa pemerintahan al-Aziz Billah al-Fathimy, raja kedua Dinasti Fathimiyyah. Al-Aziz Billah sendiri adalah putra dari al-Mu'iz Lidinillah, raja pertama Dinasti Fathimiyyah yang berasal dari Maroko. Namun beliau telah meninggal sebelum pembangunan masjid ini selesai, hingga akhirnya disempurnakan oleh putranya al-Hakim bi Amrillah, raja ketiga Dinasti Fathimiyyah, pada tahun 403 H/1013 M. Maka masjid ini dinisbatkan kepadanya, karena dialah yang meneruskan dan menyempurnakan pembangunan masjid ini.
Masjid al-Hakim bi Amrillah adalah masjid kedua yang dibangun pada masa Dinasti Fathimiyyah di Mesir, yang sebelumnya telah membangun Masjid al-Azhar. Dan Masjid ini juga merupakan pusat ilmu kedua setelah Masjid al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyyah.

Di dalam masjid, terdapat sumur yang airnya hingga saat ini masih mengalir dan dipakai untuk berwudhu. Menurut keterangan petugas masjid dan penilik benda-benda bersejarah Mesir, air yang dihasilkan dari sumur tersebut rasanya mirip dengan Air Zam-Zam. Di Masjid ini juga terdapat dua mihrab. Mihrab yang pertama dibangun pada masa Dinasti Fathimiyyah, yang bercirikan tertulis Muhammad wa Ali (Muhammad dan Ali) karena semaraknya madzhab Syi’ah pada masa itu. Dan mihrab yang kedua dibuat pada Dinasti Mamalik, yang letaknya di samping Mihrab Fathimiyyah. Masjid ini merupakan masjid terluas kedua di Kairo setelah Masjid Ibnu Thulun.

Keluar dari Masjid al-Hakim bi Amrillah kita dapat melanjutkan perjelajahan menyusuri jalanan yang cukup semrawut dengan aroma kunonya di beberapa bangunan sekelilingnya. Obyek penting selanjutnya adalah “Bait el-Suhaemy”. Ia merupakan salah satu rumah peninggalan bersejarah di Mesir yang menyimpan berbagai keistimewaan khusus di dalamnya. Maka tidak heran jika para wisatawan manca negara hadir untuk menyaksikan rumah bersejarah tersebut.

Bait el-Suhaemy terhitung sebagai salah satu tempat berziarah atau tempat berkunjung terkenal yang menghadirkan satu contoh tersendiri dari berbagai corak arsitektur bangunan tempat tinggal khusus, bahkan ia juga terhitung sebagai satu-satunya rumah ideal yang menghadirkan keindahan bangunan Islam pada masa Utsmaniyyah di Mesir. Adapun rahasia dari penamaan yang langka ini terkembali pada bani/keluarga terakhir yang tinggal di dalamnya. Yaitu keluarga Syeikh Muhammad Amin al-Suhaemy yang merupakan Syeikh Ruwâq al-Atrâk di al-Azhar al-Syarîf dan beliau meninggal pada tahun 1928 M.

Bait el-Suhaemy dibangun pada masa Dinasti Utsmaniyyah tahun 1648 M oleh Syeikh Abdul Wahab at-Thablawy. Pembangunan rumah ini dilaksanakan dalam beberapa tahap hingga akhirnya jadi seperti yang masih ada saat kini. Bait al-Suhaemy terdiri dari dua bagian. Pertama adalah bagian selatan yang didirikan oleh Syeikh Abdul Wahab at-Thablawy tahun 1058 H – 1648 M. Kedua adalah bagian utara yang didirikan oleh Ismail bin Syalby pada tahun 1211 H – 1796 M, lalu dua bagian ini akhirnya ia gabungkan menjadi satu. Pada tahun 1931 M, pemerintah Mesir membeli rumah ini dari para pewarisnya dengan harga 6.000 Pound Mesir, dan menghabiskan 1000 Pound untuk melakukan perbaikan.

Setelah beberapa saat singgah di halaman Bait al-Suhaemy, kita bisa melanjutkan perjalanan melewati beberapa masjid kuno yang menampakkan kegagahan bangunannya. Beberapa di antaranya adalah Madrasah dan Masjid Kamiliya (1180 – 1238 M), Masjid al-Aqmar (1125 M), Madrasah dan Masjid Barquq (1386 M), hingga akhirnya sampai pada Masjid Sayyidna Husain dan Masjid al-Azhar (970 M). Ketiga masjid yang disebutkan terakhir itu tergolong masjid-masjid besar yang ada di Kairo. Masjid Barquq sendiri jika kita amati secara lebih dekat akan menampakkan kemegahan dan kekokohannya, dengan kedua menaranya yang menjulang tinggi mencakar langit.

Sementara Masjid Husain adalah semacam masjid Istiqlal-nya Jakarta, yang merupakan masjid Jami’ resmi pemerintahan. Ia termasuk masjid tertua Mesir yang dibangun pada tahun 1154 M, terletak di dekat sebuah pasar masyhur Khan el-Khalily. Masjid ini dianggap sebagai salah satu situs suci Islam di Kairo, yang dibangun di atas pekuburan para khalifah Dinasti Fathimiyyah, sebuah fakta yang baru ditemukan kemudian setelah dilakukan proses penggalian. Di dalam masjid terdapat sebuah makam yang diyakini sebagai tempat di mana kepala Sayyidina Husain dikuburkan, yang masih dapat kita temui hingga kini.

Sedang masjid al-Azhar, yang sudah sangat familiar di kalangan mahasiswa, juga merupakan peninggalan Dinasti Fathimiyyah yang menyimpan segudang sejarah. Ia adalah masjid pertama Dinasti Fathimiyyah, yang juga difungsikan sebagai pusat pengkajian ilmu-ilmu agama. Sebelum akhirnya menganut madzhab Sunni, konon masjid al-Azhar dikuasasi oleh orang-orang Syi’ah.

Tidak jauh dari masjid al-Azhar, dengan menelusuri sepanjang jalan Husain ke Arah Attaba kita akan menemukan “Bab Zuwayla”. Terletak tidak jauh sebelum Bab Zuwayla terdapat sebuah masjid besar yang dikenal dengan sebutan "Red Mosque". Ia adalah “Masjid al-Muayyad” yang didirikan oleh sultan al-Muayyad dan selesai dibangun pada tahun 1422 M.

Adapun Bab Zuwayla, ia merupakan salah satu gerbang terbesar di Kairo yang didirikan pada tahun 485 H – 1092 M. Ia dikenal juga dengan sebutan “Bawwabah al-Mutawally” (gerbang al-Mutawally). Pintu gerbang Zuwayla dahulu pernah menjadi sejarah tempat pelaksanaan hukuman gantung pertama di Mesir. Pintu ini dikenal dengan pintu Mutawally karena dinisbatkan kepada seorang ahli ibadah dan orang shaleh terkenal yang bernama Syaikh Mutawally. Syaikh Mutawally terkenal mempunyai banyak karamah, di antaranya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, khususnya sakit gigi, dengan cara pengobatan yang tentu sangat berlainan dengan ahli lainnya. Di pintu ini kita juga akan menyaksikan banyak gigi serta rantai yang dahulu dipakai untuk menggantung orang jahat. Setelah mengalami perbaikan selama kurang lebih 900 tahun, Bab Zuwayla yang merupakan peninggalan bersejarah Dinasti Fathimiyyah kembali diresmikan dan dibuka pada hari Ahad tanggal 14 September 2003.

Terletak sekitar 100 meter di depan Bab Zuwayla terdapat “Masjid al-Shalih Thala'i” yang dibangun pada tahun 1160 M oleh amir Shalih Thala'i bin Razik. Masjid ini dibangun dengan bentuk memanjang di atas bangunan bawah tanah. Maka masjid ini dijuluki sebagai salah satu masjid gantung atau “masâjid al-mu'allaqah”.

Demikianlah sekelumit penelusuran di beberapa ruas Islamic Cairo yang terdapat di sekitar kawasan Kairo Fathimiyyah. Sebagaimana yang tercatat di bagian atas tulisan ini, Kairo terlalu kaya dengan peninggalan sejarah dan kebudayaannya, sehingga tidak dapat kita jelajahi dalam waktu sekejap mata. Tentunya kita akan membutuhkan cukup tenaga, waktu maupun biaya untuk dapat mengakrabi kota Kairo secara detail, lengkap dengan data-data sejarahnya. Maka selamat membaca, menjelajah dan mencicipi aroma kekayaan sejarah sang kota tua, kota seribu menara!.[]

*Untuk melihat foto-foto kawasan Kairo Fathimiyyah, silahkan buka di sini!

Baca Selanjutnya...!...

Safari Perpustakaan (1)

Sunday, October 19, 2008


Maktabah al-Azhar al-Syarief
Oleh: M. Luthfi al-Anshori, dkk.
Prolog

Semenjak awal kaum muslimin sangat intens terhadap buku dan perpustakaan. Karena buku (baca: kitab) merupakan mu’jizat teragung nabi mereka, Muhammad Saw. Ayat al-Quran yang pertama kali turun pun menyinggung urgensitas ilmu pengetahuan dan membaca. “Iqra` bi ismi rabbika alladzi khalaq. Khalaqa al-insâna min ‘alaq. Iqra` wa rabbuka al-akram. Alladzî ‘allama bi al-qalam”.(QS. al-Alaq: 1-4).

Di samping ayat al-Qur’an tadi Nabi Muhammad Saw. juga bersabda: “Barang siapa menempuh sebuah jalan dalam rangka untuk mencari ilmu niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”.(H.R. Muslim).

Bertolak dari prinsip itulah masjid-masjid kaum muslimin pada zaman dahulu, di samping sebagai tempat beribadah juga dimanfaatkan sebagai tempat belajar dan mengkaji ilmu-ilmu agama. Masjid–masjid itu berperan meningkatkan ranah keilmuan, di samping aspek ruhaniah. Sejarah telah mencatat, baik di barat maupun di timur, bahwa perhatian kaum muslimin terhadap buku sangat tinggi, mengingat nilai pentingnya sebuah ilmu. Untuk itulah para pembesar kaum muslimin dan punggawanya sangat memperhatikan pengumpulan buku dan penghimpunannya. Mereka mengerahkan segala daya dan upaya yang besar demi melakukan hal itu.

Perpustakaan al-Azhar Lama

Perpustakaan al-Azhar yang ada sekarang ini bukanlah seperti yang ada dahulu, sebagaimana yang sering dikatakan oleh para sejarawan. Akan tetapi perpustakaan baru yang kini ada adalah jelmaan dari reruntuhan sejarah perpustakaan lama. Perpustakaan al-Azhar -baik yang lama ataupun baru- tidak banyak mendapat perhatian sejarawan secara khusus. Ini tidaklah aneh, karena al-Azhar sendiri pun belum mendapatkan perhatian yang layak dan sesuai dengan nama besarnya sebagai pengemban misi keilmuan selama lebih dari seribu tahun. Perhatian itu baru muncul setelah adanya usaha beberapa penulis pada beberapa abad terakhir.

Biasanya sumber-sumber sejarah hanya menyebut perpustakaan al-Azhar lama sebatas sebagai pengetahuan global saja. Itu pun tak lebih dari hanya sekadar mereportase ucapan Ibnu Muyassar dalam bukunya “Akhbâr Mishr” tahun 517 H. Dalam buku itu dikatakan bahwa seorang dâ’i al-du’ât yang bernama Abu al-Fahr Shâlih memangku jabatan sebagai Khatîb di Masjid al-Azhar sekaligus mengurusi perpustakaan masjid tersebut. Hal ini tentunya mengisyaratkan pentingnya perpustakaan al-Azhar, sampai-sampai kepengurusannya diembankan kepada dâ’i al-du’ât (petinggi agama yang kedudukannya sederajat lebih rendah dari qâdhi qudhât) sejak akhir abad ke-5 Hijriah. Pada masa itu gubernur Mesir memerintahkan supaya sebagian buku yang berada di Dâr al-Hikmah dipindahkan ke masjid al-Azhar. Jumlah buku yang ada pada masa itu mencapai lebih dari 50.000.

Dan ketika orang-orang Perancis melancarkan invasi ke Mesir dan berhasil merobohkan masjid al-Azhar, mereka juga merampas banyak buku yang ada di sana yang kemudian membawanya ke perpustakaan Paris. Buku-buku tersebut kini menjadi kebangaan tersendiri bagi perpustakaan Perancis.

Perpustakaan al-Azhar Baru

Perpustakaan al-Azhar baru termasuk perpustakaan terbesar kedua di Mesir setelah Dâr el-Kutub karena menyimpan banyak sekali koleksi buku dan manuskrip klasik pada abad-abad awal Hijriah.

Salah satu sistem yang diterapkan al-Azhar pada masa lampau adalah apa yang mereka sebut sebagai sistem arwiqah; yaitu merupakan gedung-gedung yang dihuni mahasiswa asing yang meninggalkan negara mereka guna menuntut ilmu. Peredaran buku-buku yang ada di gedung tersebut tidak seperti yang lazim berlaku di perpustakaan-perpustakaan. Pemanfaatan perpustakaan pada waktu itu berada di bawah aturan Syaikh ruwaq yang bertugas menjaga dan merawat buku-buku yang ada di perpustakaaan. Jumlah ruwaq yang ada di masjid al-Azhar ketika itu mencapai sekitar dua puluh tujuh.

Beberapa masjid dan sekolah kuno pada masa itu kebanyakan memiliki perpustakaan seperti ini. Buku-buku yang ada di dalamnya sering hilang di tangan peminjam yang tidak bertanggungjawab. Hal inilah yang mendorong Syaikh Muhammad ‘Abduh, Mufti Mesir ketika itu, untuk mengusulkan dibangunnya perpustakaan baru, yang kemudian disetujui oleh Dewan Administrasi al-Azhar dan pembangunannya dilaksanakan pada awal Muharram 1314 H/1897 M. Selanjutnya buku-buku yang sebelumnya berada di arwiqah dipindahkan ke satu tempat khusus. Kala itu mereka mengalami kesulitan dalam proses penyalinan dan perbaikan manuskrip yang ada karena telah banyak yang rusak. Para pegawai dan anggota majlis saat itu secara langsung ikut menyunting berbagai buku tersebut yang kemudian diklasifikasikan ke dalam berbagai varian disiplin ilmu.

Tidak hanya berhenti sampai di sana saja, Syaikh Muhammad ‘Abduh juga menghimbau pembesar dan pemuka agama supaya menghibahkan buku-buku mereka. Ajakan Syaikh Muhammad ‘Abduh rupanya tidak hanya bertepuk sebelah tangan. Banyak di antara mereka yang menyambut inisiatif Muhammad ‘Abduh seperti Syaikh Hasunah al-Nawawi (Syaikh al-Azhar saat itu) yang menghibahkan perpustakaannya. Selainnya juga datang dari ahli waris Sulaimân Bâsyâ serta pembesar al-Azhar lainnya.

Koleksi Perpustakaan

Sebagaimana perpustakaan lain, perpustakaan al-Azhar tumbuh bersama berjalannya zaman. Yang awalnya kecil, tidak memiliki banyak koleksi menjadi bertambah kuantitas dan jenis buku-buku yang ada di sana. Faktor pendorong bertambahnya koleksi itu antara lain adalah maraknya percetakan, di samping juga hibah dan pembelian buku-buku baru. Di antara buku-buku itu antara lain: berbagai jenis Mushaf, disiplin ilmu Hadits, Tafsir, Ilmu Hadits, Ushul al-Fiqh, Fiqh, Nahwu, Sharaf, Balaghah, Mantiq, Tasawwuf, Matematika, Kedokteran, dan lain-lain yang mencapai lebih dari 128.500 buku,, yang terangkup dalam 63 disiplin ilmu.

Di samping itu, perpustakaan al-Azhar juga memiliki beberapa koleksi antik yang sulit ditemukan di berbagai perpustakaan lain. Di antara buku-buku langka itu adalah:

1. Dua buah mushaf ditulis tahun 465 H, satu manuskrip mushaf ditulis tahun 528, dan satu manuskrip mushaf ditulis tahun 741 H.

2. “Al-Ri’âyah li tajwîdi al-Qirâ`ât wa Tahqiqi Lafdzi al-Tilâwah” ditulis tahun 757 H, “Al-`Âlî al-Fâridâh fi Syarhi al-Qashîdah” ditulis tahun 735 H, "Ibrâzu al-Ma`âni min Hirzi al-Amâni" ditulis tahun 706 H, “Syarh al-Syathibiyyah” li-al-Ja`bari ditulisa tahun 839 H.

3. “Tafsir Gharîbu al-Quran li al-Sajastâni” ditulis tahun 514 H, “Tafsir Surat al-Fâtihah li al-Iqlîsyi” ditulis tahun 627 H, “al-Kassyâf li al-Zamakhsyari” ditulis tahun 654 H (naskah asli penulis).

4. “Gharîb al-Hadits li Ibni Salâm” ditulis tahun 311 H, Juz Keempat dari Musnad Abi `Awânah ditulis 617 H, Juz Satu dari “al-Ilmâm fî Ahâdîtsi al-Ahkâm li Ibni Daqîq al-Îd” ditulis tahun 736 H.

5. “`Umdatu al-Thâlibîn” li Ibni al-Wazîr ditulis tahun 603 (naskah asli penulis), “Zâdu al-Mulk” li Ibni al-Mudzaffir ditulis tahun 860 H, “Tafdhîlu `Aqdi al-Farâidh” li Ibni al-Syuhnah tahun 596 H.

6. “Rusûm al-Khilâfah” li al-Shâbî ditulis tahun 455 H, “Mu`jam Mâ Ista`jama li al-Bakrî fî Taqwîmi al-Buldân” ditulis tahun 596 H, “al-Mu`jam al-Mu`assis li al-Mu`jam al-Mufahris” li Ibni Hajr, yang merupakan mu`jam nama-nama Syaikhnya ditulis tahun 829 H (naskah asli penulis).

Keistimewaan Perpustakaan Al-Azhar

Perpustakaan al-Azhar memiliki keistimewaan tersendiri dengan melimpahnya buku-buku yang membahas ilmu-ilmu Arab dan keagamaan secara mendetail. Hal ini bisa dilihat di dalam koleksi berbagai disiplin ilmu yang ada. Hal itu maklum, karena buku-bukunya kebanyakan didapatkan dari perpustakaan para `ulama dan pemberian orang-orang dermawan.

Di antara keistimewaan perpustakaan al-Azhar adalah tersedianya manuskrip-manuskrip yang dijadikan bahan penelitian bagi para mahasiswa yang jarang sekali didapatkan di berbagai perpustakaan lain. Di samping juga cetakan buku yang ada yang secara global mencapai 128.500 koleksi (buku maupun manuskrip).

Misi Perpustakaan al-Azhar

Misi yang diemban perpustakaan al-Azhar adalah membantu peneliti, penulis tesis maupun disertasi, dan masyarakat umum dalam mendapatkan referensi yang tidak didapatkan di perpustakaan-perpustakaan lain. Dan tujuan itu semua hanya satu: “mentransformasikan ilmu, budaya dan pengetahuan”.

Jam Kerja:

Maktabah al-Azhar buka setiap hari mulai pukul 10.00 s/d 14.00 CLT, kecuali hari Jum’at dan Sabtu, dan hari-hari libur nasional.

Rute:

Bagi mahasiswa al-Azhar yang pernah mengajukan Tholab Musa’adah ke Jam’ittah Syar’iyyah atau mengajukan Tholab Minhah ke Idarah Masyikhah Azhar pasti sudah tak asing lagi dengan Perpustakaan al-Azhar, karena ia terletak diapit oleh Masyikhah al-Azhar dan Jam’iyyah Syar’iyyah. Hehehehe…[]

Referensi:
· Al-Lamhât al-Syadhiyyah ‘an al-Maktabah al-Azhariyyah, karya Dr. Ahmad Khalifah Muhammad.

Baca Selanjutnya...!...

Sebuah Potret (1)

Saturday, October 4, 2008

“Mengadili” Sense of Politic??*
Oleh: M. Luthfi al-Anshori

Manusia, dalam satu waktu dan keadaan yang sama, adalah seorang mahluk penyendiri/individu dan mahluk sosial. Sebagai mahluk individu, ia senantiasa melindungi keberadaannya, mempertahankan eksistensinya, dan yang terpenting untuknya adalah memuaskan keinginan pribadinya, dan mengembangkan bakat serta minatnya. Sebagai mahluk sosial, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat sekitarnya, dicintai oleh sesama manusia, untuk saling berbagi kebahagiaan, membuat mereka nyaman dikala tumbuh kesedihan, menjadi penyemangat dalam lemahnya keputus-asa-an, dan juga untuk meningkatkan taraf hidup.

Namun demikian, eksistensi dari hal-hal tersebut sangat berkaitan, bahkan bertentangan, tergantung pada karakter pribadi manusia. Kombinasi khusus tersebut menentukan sampai sejauh mana seseorang dapat mencapai keseimbangan individu dan tetap memberikan sumbangsihnya bagi kehidupan masyarakat. Sangat dimungkinkan bahwa, kedua kekuatan ini, terutama dapat digabungkan karena memang telah melekat pada dirinya. Akan tetapi, kepribadian yang pada gilirannya muncul sebagian besar karena terbentuk; oleh pengaruh lingkungan dimana manusia tersebut tumbuh dan berkembang, struktur masyarakat dimana ia dibesarkan, budaya dari masyarakat, dan oleh penghargaan yang diperolehnya atas tingkah laku serta perbuatan tertentunya.

Konsepsi abstrak “masyarakat” bagi manusia perseorangan adalah keseluruhan hubungan langsung maupun tidak langsung atas masyarakat yang hidup pada masa yang sama atau sebelumnya. Individu tertentu dapat berpikir, berkreasi, merasakan, berjuang dan bekerja oleh dan untuk dirinnya sendiri. Akan tetapi, sebenarnya ia juga tergantung pada masyarakat, -baik secara fisik, intelektual, emosional- sehingga sangat sulit memahami dan memikirkannya di luar kerangka masyarakat. Adalah masyarakat yang menyediakan manusia dengan makanan, pakaian, rumah, perkakas, bahasa, pola pikir, dan hampir semua isi pemikirannya. Hidupnya menjadi nyata setelah bekerja dan berhasil sukses sejak jutaan tahun lampau, dan hingga kini dimana semua hal tersebut tersembunyi di balik sebuah kata, “masyarakat”.

Hal-hal itu adalah bukti, karenanya, ketergantungan seseorang terhadap masyarakat adalah fakta alamiah yang tidak dapat dihilangkan. Senada dengan pernyataan di atas, Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani, lebih jauh ia juga menyatakan bahwa; manusia, selain sebagai mahluk pribadi, juga sebagai mahluk sosial dan mahluk politik (zoon politicon). Manusia tidak dapat hidup sendiri, namun senantiasa membutuhkan keberadaan orang lain. Aristoteles tentu saja mendasari pemikirannya dari analisisnya terhadap realitas manusia pada zamannya. Bahwa, memang manusia secara fitrahnya membutuhkan keberadaan manusia lain.

Lalu, mengapa akhirnya harus menjadi politisi (mahluk politik, red) juga? Karena kita adalah manusia, dan menurut Aristoteles dalam definisi klasiknya tentang politik menyebutkan bahwa, politik adalah master of science, karena manusia hidup tidak pernah lepas dari politik. Manusia adalah mahluk politik (sama dengan “natural born” politisi?), sehingga ilmu pilitik adalah sebuah kunci untuk memahami lingkungan.

Selain Aristoteles, tentunya telah ada dan berkembang banyak sekali definisi tentang politik. Harold Laswell dengan definisi politik itu adalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Ada juga yang mendefinisikan politik sebagai sebuah ilmu yang mempelajari tentang negara menyangkut institusi, hukum dan prosesnya. Selanjutnya politik sebagai the art of possible, lalu politik sebagai kepentingan atau konflik, kemudian politik sebagai sebuah kekuatan (power)/kekuasaan dan karenanya harus dipertahankan (sampai titik darah penghabisan??) . Nampaknya definisi terakhir tentang politik di atas (sebagai kekuasaan), lebih mudah dipahami dan dimengerti secara riil ketimbang yang lainnya.

Manusia, dalam perjalanan hidupnya, sejak kecil hingga dewasa, sesungguhnya senantiasa melakukan praktek “berpolitik”, entah disadarinya maupun tidak. Pada masa kanak-kanak; seorang ‘bocah’ sering menangis untuk mendapatkan pembelaan Mama dan Papa ketika sedang berkelahi dengan saudaranya. Ngambek dan mogok makan supaya dibelikan mainan atau diperbolehkan untuk melakukan sesuatu. Pada masa puber; seorang remaja mulai melakukan serangannya untuk menjalin hubungan dengan orang-orang signifikan di sekolah seperti satpam, tukang parkir, tukang foto copy, ibu kantin untuk mempermudah banyak hal. Pada masa kuliah; para mahasiswa berbondong membina pertemanan baik dengan para pegawai TU supaya di saat-saat genting pengumpulan tugas bisa mendapatkan tambahan sedikit waktu. Dengan dosen-dosen yang tentunya untuk transfer ilmu mereka dan transfer proyek untuk menambah pengalaman, atau supaya bisa menggolkan lebih dari 20 SKS dalam satu semester supaya cepat kuliah. Demikian beberapa contoh “fitrah berpolitik” manusia, dan seterusnya, dalam setiap fase kehidupan seseorang, ia akan senantiasa melakukan praktek-praktek politik untuk memudahkan urusannya.

Sedemikian mengakar ternyata potensi manusia untuk “berpolitik”. Maka tak ayal jika pada zaman sekarang ini, berbagaimacam bentuk dan fariasi politik dapat kita jumpai dengan mudah di mana-mana. Terma “politik” sendiri, bagi beberapa kalangan masyarakat awam, masih dianggap sebagai sebuah momok, yang senantiasa memberikan sense negative dalam pandangan mereka. Politik sering diasosiasikan dengan kata kotor, kejam dan culas, yang membuat mereka yang mendengarnya menjadi jijik. Hal itu nampaknya dipengaruhi oleh ketidaktahuan mereka akan arti politik secara luas.

Hingga saat ini, tingkat kesadaran dan atau pengetahuan masyarakat Indonesia dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak politik masih sangat rendah. Survei yang dilakukan The Asia Foundation pada tahun 2003, sebelum pemilu 2004 yang menghasilkan SBY sebagai presiden menemukan bahwa; 55% dari 1.056 random representative sample di 32 propinsi Indonesia menyatakan tidak mengetahui arti negara demokrasi yang sebenarnya. Mereka belum memahami signifikansi negara demokrasi bagi pemenuhan hak-hak politik, sebagaimana pula mereka tidak mengetahui cara mengartikulasikannya dalam kehidupan politik yang demokratis.

Terkait dengan hasil survei tersebut, kenyataan yang ada menjadi tidak aneh jika mereka memilih partai politik bukan karena program serta visi dan misi yang jelas, atau sebab hal itu akan dapat membawa keadaan menjadi lebih baik. Namun mereka memilihnya karena sekedar partai itu adalah partainya (19%), faktor pemimpinnya –bukan kepemimpinannya- (14%), atau sekedar partai islam (10%), dimana sebagian besar mereka ini (55%) tidak memahami apa yang mereka harapkan untuk dapat dilakukan oleh partai islam tersebut. Yang lebih ironis lagi, sebanyak (14%) mereka tidak tahu alasan memilih partai, dan (14%) sisanya sudah lupa.

Data penelitian itu, serta didukung fenomena yang berkembang saat ini menorehkan secara jelas tentang minimnya pengetahuan mereka tentang hak-hak politik. Pilihan dan dukungan mereka terhadap partai politik bukan didasarkan pada alasan-alasan rasional untuk penggunaan hak-hak politik, tapi merujuk pada alasan yang sangat kental dengan watak sektarianisme, taqlid buta dan sejenisnya. Dalam kondisi yang cukup memprihatinkan ini, negara dan pemerintah yang benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat tentunya sulit untuk diwujudkan dalam dunia konkrit.

Hingga saat ini, dengan semakin maraknya partai-partai politik yang bermunculan, baik dalam ranah ke-indonesia-an maupun dunia global pada umumnya, dengan tanpa diiringi pengetahuan dan pemahaman yang seimbang oleh masyarakat, tentunya akan lebih mempersulit perwujudan dan pemulihan stabilitas keamanan serta perbaikan sebuah tatanan pemerintahan. Setiap orang maupun golongan, kini bebas mendirikan partainya masing-masing (walaupun dengan syarat-syarat tertentu pastinya), entah itu yang praktis maupun pragmatis dan sejenisnya. Yang jelas setiap komponen tersebut akan selalu meng-klaim bahwa dirinyalah yang paling benar dan akan senantiasa berusaha untuk mempertahankan kekuasaan dan eksistensinya.

Hal ini tentu saja telah jauh bergeser dari asas serta nilai yang terkandung dalam fungsi sebuah organisasi tertentu. Pencapaian kehidupan yang mencerminkan nilai rahmatan lil ‘alamin serta perwujudan civil sosiety yang harusnya dikembangkan dan dilabuhkan secara konkrit di bumi pertiwi seakan hanya menjadi utopia yang nyaris sulit diraih dalam realitas kehidupan.

Di atas semua itu, yang harus segera dilakukan untuk dapat memakmurkan dunia dan menyejahterakan masyarakat adalah mensterilkan agama dari tarikan-tarikan politik paktis dan pragmatis. Para agamawan bersama para elite politik memiliki kewajiban untuk mengembalikan agama ke ranahnya yang asal dan genuine sebagai sumber nilai dan etika-moral universal. Dalam posisi semacam itu, agama diharapkan dapat membumikan misi pencerahan atas umat manusia. Potret manusia dalam bingkai politik, untuk dapat mewujdkan keseimbangan kosmos, yang telah menjadi fitrahnya sejak bayi senantiasa harus dibangun dan dipupuk di atas asas maslahah ‘ammah dan rahmatan lil alamin, bukan pemenuhan atas nafsu dan kepentingan pribadi. Wallahu a’lam!

*) Tulisan ini di-publish-kan untuk Diskusi Cyber Perdana Glafeesa , dan pernah dimuat dalam Majalah “Afkar”, PCINU Mesir, edisi XXXVII, 15-30 Februari 2007.

Baca Selanjutnya...!...

Kaji Tokoh Tafsir (2)

Friday, October 3, 2008


Muhammad Abduh, Tokoh Pembaharu Ilmu Tafsir*
Oleh: M. Luthfi al-Anshori**


Pendahuluan

Mempelajari sebuah metode dalam disiplin ilmu tentu tidak akan terlepas dari sejarah dan asal-usul sang pencetus metode itu sendiri. Alih-alih untuk mendapatkan gambaran yang lebih gamblang atas sebuah kerangka pemikiran yang terkandung dalam sebuah ide atau gagasan, maka kaji tokoh itu dibutuhkan. Setidaknya dengan mengenal dan mengakrabi profil pencetus ide atau metode yang akan kita pelajari, akan memberikan deskripsi tentang konteks maupun latar belakang yang mempengaruhi kemunculan metode tersebut.

Dengan mengkaji seorang tokoh, seseorang minimal akan mengetahui profilnya, bagaimana perjalanan hidupnya, sehingga dari situ ia akan mengambil sebuah pelajaran hidup darinya. Terlebih dari itu, seorang pengkaji akan banyak memahami sejarah, mengetahui hasil dan produk dari masa atau zaman tertentu, lalu ia komparasikan dengan masa lainnya. Maka dari situ akan muncul sebuah pemahaman seputar pemikiran ataupun ide-ide yang mendominasi masa tersebut, lengkap dengan para pelopornya.

Dengan memahami sejarah, manusia akan lebih terarah. Karena adanya masa lalu, adalah cerminan dari sepenggal kisah perjalanan para “khalifah” bumi, dari masa ke masa. Lalu dari latarbelakang itulah akan muncul sebuah perbandingan dan singkronisasi kualitas maupun kuantitas dari produk masing-masing masa. Dan dengan usaha tersebut diharapkan akan muncul sebuah perubahan yang membawa ke arah perbaikan dan pencerahan.

Mengenal Muhammad Abduh

Dalam era globalisasi yang kian didominasi iklim materialisme dan pragmatisme, bersemilah pula jiwa-jiwa rakus yang penuh ambisi serta kepentingan pribadi. Krisis multidimensi pun tak dapat dielakkan. Termasuk pula di dalamnya adalah krisis kepercayaan dan krisis tauladan. Sebuah keteladanan, yang dari masa ke masa selalu dijadikan pedoman dan cerminan untuk muhasabah dan percontohan pun kian memudar.

Seiring perkembangan zaman yang justru menyuguhkan kegawatan ekonomi maupun akidah umat islam sekarang, model atau tokoh yang sering diambil sebagai sample justru dari orang-orang barat. Lantaran itu, kita melihat umat islam belum mampu menunjukkan kemajuan dan perkembangannya secara kamil dan salim. Maka, seharusnya kita mengambil para tokoh islam sebagai teladan dan model kita. Muhammad Abduh, atau dengan nama lengkapnya; Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah merupakan seorang tokoh yang disegani dan patut dicontoh. Beliau telah mengorbankan seluruh jiwa, raga, harta dan seluruh kehidupannya untuk kemajuan Islam yang muslimin.

Pada tahun 1849 Masehi, beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Mahallat Nasr yang berada di kawasan al-Buhairah, Mesir. Setelah mulai menginjak usia remaja, Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha, sekitar 80 km dari Kairo, untuk belajar Tajwid al-Qur’an dengan Syaikh Mujahid yang terkenal dengan seni bacaan tajwidnya. Namun setelah beberapa saat ia belajar di sana, ia merasa bahwa metode pengajaran yang diterapkan cukup menjengkelkan dan tidak bisa ia pahami. Maka setelah 2 tahun, Abduh memutuskan untuk kembali ke desanya. Namun karena itu, ia justru dinikahkan oleh orang tuanya dalam usia 16 tahun.

Karena terus dipaksa oleh ayahnya untuk belajar di al-Ahmadi, Abduh akhirnya melarikan diri ke Syibral Khit dimana di desa ini banyak tinggal keluarga dari ayahnya. Dan di sinilah dia bertemu dengan syeikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya sendiri yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur’an dan penganut thariqah asy-Syadziliah. Selain itu Syeikh Darwisy juga telah hafal Muwaththa’ ibnu Malik dan beberapa kitab hadits lainnya.[1]

Berawal dari pertemuan dengan pamannya inilah Abduh mulai menemukan pencerahan akan hakikat ilmu pengetahuan dan kembali mendapat semangat untuk menimba ilmu di Mesjid Thantha. Usai dari sana, beliau melanjutkan studinya di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari 1866. Di al-Azhar Muhammad Abduh melemparkan kritikannya tentang metode pengajaran yang diterapkan. “kepada para mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama’ terdahulu, tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan”.

Namun demikian, di al-Azhar Abduh juga mengagumi beberapa Masyayikh. Diantaranya adalah Syaikh Hasan ath-Thawil yang mengajarkan kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles dan lain sebagianya. Abduh juga mengagumi sosok Muhammad al-Basyumi yang banyak mencurahkan perhatiannya dalam bidang sastra dan bahasa.

Pada tahun 1871 Masehi, ketika Jamaluddin al-Afghani tiba di Mesir, Abduh sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang digelar oleh Syeikh Jamaluddin. Disamping itu dia juga sering mengikuti halaqah-halaqah non-formal dan mendengarkan pelajaran langsung di rumah al-Afghani. Maka secara alami, Abduh juga ikut terpengaruh dan menyebarkan corak pemikiran Afghani. Dari kedekatannya inilah Jamaluddin al-Afghani berhasil mengubah Abduh dari tasawwuf (dalam arti sempit), kepada tasawuf dalam arti lain, yaitu perjuangan untuk perbaikan masyarakat dan membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran-ajaran Islam. [2]

Pada usia yang ke-26 tahun, Muhammad Abduh telah mampu menulis secara mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam dan tasawwuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah. Selain itu, Abduh juga menulis artikel-artikel pembaruan di surat kabar al-Ahram, yang tulisannya tidak disukai oleh para pengajar di al-Azhar. Namun kerena kemampuan ilmiahnya dan pembelanya, yaitu Syeikh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi yang waktu itu mejabat Syeikh al-Azhar, Abduh dinyatakan lulus dengan peringkat tertinggi dalam usia 28 tahun (1877 M).

Selang beberapa tahun kemudian (1879), Jamaluddin al-Afghani diusir dari Mesir, dan Abduh sendiri diasingkan di desa kelahirannya hingga akhirnya ia menyusul al-Afghani ke Paris. Di sana mereka menerbitkan Jurnal Islam “al-Urwah al-Wutsqa” atau The Firmest Bond, yang bertujuan menentang penjajahan barat, khususnya Inggris.

Tahun 1885, Abduh meninggalkan Paris menuju Beirut (Libanon) dan mengajar disana sembari mengarang beberapa kitab. Hasil karyanya antara lain adalah Risalah at-Tauhid, Syarh Nahjul Balaghah (komentar menyangkut kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib), menerjemahkan karangan al-Afghani: ar-Raddu ‘ala ad-Dahriyyîn (bantahan terhadap orang-orang yang tidak percaya eksistensi Tuhan), dan Syarah Maqamat Badi’ az-Zaman al-Hamazani.

Selama masa hidupnya, Abduh sangat membenci dan menentang sikap taqlid yang menghegemoni umat Islam saat itu. Hal ini sebenarnya mulai dia rasakan semenjak menginjakkan kakinya di al-Azhar, dimana dia mendapati terpolanya 2 sudut pemahaman; yaitu kaum mayoritas yang penuh taqlid dan hanya mengajarkan kepada para siswanya pendapat-pendapat ulama’ terdahulu dan sekedar dihafal. Sementara kaum minoritas adalah mereka yang suka akan pembaruan Islam (pola tajdid) yang mengarah pada penalaran dan pengembangan rasa. [3]

Pada 11 Juli 1905 Masehi, Muhammad Abduh telah menghembuskan nafas terakhir di rumah sahabatnya, Muhammad Bek Raban, di Ramel Iskandariah, Mesir.

Sumbangsih Abduh Dalam Bidang Tafsir

Ketika kita hendak menelisik tentang apa yang telah dihasilkan oleh Muhammad Abduh dalam bidang tafsir, maka kita akan menemukan karyanya, sebuah tafsir terkenal dalam “Juz Amma” (juz 30 dari urutan mushaf). Tafsir yang disusun oleh Abduh atas musyawarah dari anggota “Jam’iyyah Khairiyyah al-Islamiyyah” itu diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para pengajar Jam’iyyah, dalam memberikan pemahaman terhadap para murid tentang arti dan kandungan makna dari surat-surat yang telah mereka hafal dalam juz 30. Disamping itu Abduh juga berharap agar karyanya ini bisa menjadi corong perbaikan kerja dan akhlaq mereka. Tafsir “Juz Amma” ini selesai dikerjakannya tahun 1321 H di negeri Maghrib.

Selain itu kita juga dapat menemukan tafsir detailnya tentang surat “al-Ashr”, yang pernah beliau sampaikan dalam berbagai macam muhadharah dan sebagai bahan pelajaran untuk para ulama’ di kota al-Jazair pada tahun 1321 H/1902 M. Muhammad Abduh pernah mengatakan bahwa; “dia membacakan tafsir dari satu surat al-Ashr ini dalam waktu 7 hari, dan setiap kali pertemuan tidak kurang dari 2 jam atau 1 jam setengah”.[4]

Pada sisi yang lain kita dapat menemukan berbagai macam karya Abduh dalam bentuk studi tafsirnya, yang di dalamnya ia mencoba mengobati dan memberikan solusi atas berbagai macam isykaliyyat Qur’an, dan juga memberikan pembelaan atas skeptisisme terhadap isykaliyyat tersebut. Hal ini dapat kita tengok dalam penjelasannya tentang tafsir surat an-Nisa’ ayat 78-79 . Beliau telah menggabungkan kedua ayat tersebut dan menyepakatkannya atas beberapa qaul yang menyatakan bahwa diantara keduanya terdapat perbedaan dan pertentangan. Yaitu menisbatkan perbuatan manusia kepada Allah pada satu waktu, dan perbuatan manusia kepada sesama hamba pada waktu yang lain.[5]

Secara tertulis dan khusus kita memang tidak mendapati Muhammad Abduh menyusun sebuah kitab tafsir 30 juz lengkap, sebagaimana para mufassir lainnya. Namun jejak pemikiran dan konsep beliau dalam bidang tafsir dapat terlihat dari setiap pelajaran yang beliau sampaikan dalam perkuliahan al-Azhar kepada para muridnya. Walaupun Abduh menyampaikan pelajaran tafsir dengan tanpa tercetak atau tertulis sedikitpun, namun kita tidak kesulitan mendapatkan jejak peninggalan beliau dalam bidang tafsir. Hal itu disebabkan karena salah satu murid beliau, Muhammad Rasyid Ridha, selalu mencatat poin-poin penting yang beliau sampaikan di sela-sela muhadharahnya. Pada tahap selanjutnya, apa yang sudah dihafal oleh Rasyid Ridha dan ia tulis lalu ia koreksikan ulang kepada Abduh untuk diteliti, sebelum akhirnya diterbitkan dalam majalah al-Manâr.[6]

Demikianlah beberapa poin pokok dari apa yang telah dihasilkan oleh Muhammad Abduh dalam bidang tafsir. Walaupun karya (tafsir yang tertulis) ini terhitung sedikit bagi sosok Abduh yang kaya ilmu dan pengetahuan, namun secara riil dapat dikatakan bahwa Abduh cukup memberikan pengaruh perubahan yang besar terhadap perkembangan tafsir.

Metodologi Tafsir Muhammad Abduh

Menurut Abduh, mempelajari dan menggali tafsir al-Qur’an secara mendalam bukanlah sesuatu yang mudah. Bahkan ia termasuk bidang yang paling sulit namun sangat penting. Titik kesulitan tersebut menurutnya karena disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya adalah; karena al-Qur’an merupakan “kalâm samâwi” atau “sabda langit” yang diturunkan dari haribaan Tuhan semesta alam kepada hati penutup para nabi, Muhammad SAW, dan ia mengandung begitu banyak pelajaran dan ilmu pengetahuan yang agung. Maka tidak akan mungkin bisa menemukan mutiara hikmah yang terkandung di dalamnya, kecuali orang-orang yang mempunyai hati bersih dan akal yang cemerlang. [7]

Meskipun demikian, dalam hal ini Muhammad Abduh adalah satu-satunya ulama’, diantara sekian banyak ulama’ al-Azhar, yang secara terang-terangan menyerukan dakwahnya kepada pembaharuan dan pembebasan diri dari belenggu taqlid. Maka ia menggunakan kebebasan akalnya dalam setiap tulisan-tulisannya maupun penelitiannya. Abduh tidak menempuh dan mengikuti terhadap sesuatu yang ia anggap baku dan kaku dari pemikiran serta statemen-statemen para pendahulunya. Sehingga dari situ muncullah gagasan-gagasan serta ide Abduh yang dianggap kontroversial dan sangat kontras dengan pemikiran para ulama’ sebelumnya. Banyak dari kalangan ulama’ Mesir yang marah dan geram dengan sikap Abduh tersebut. Namun tidak sedikit pula para pengikut dan muridnya yang telah banyak mengikuti jejaknya.

Kemerdekaan akal dan revolusi Abduh terhadap pola pemikiran lama ini memberikan pengaruh yang besar terhadap berbagai macam metode yang ia terapkan, termasuk dalam bidang tafsir. Diantara beberapa aspek yang membedakan Abduh dengan kebanyakan mufassirin sebelum dan sezamannya karena ia telah mengambil dasar tersendiri yang ia jadikan sebagai landasan dan alat bedah dalam menafsirkan al-Qur’an. Landasan Abduh dalam penafsirannya adalah bagaimana mendapatkan pemahaman terhadap al-Qur’an, yang merupakan pondasi dasar agama, dengan berbagai macam kandungannya yang dapat mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebab menurut Abduh, inilah tujuan tertinggi dari al-Qur’an. Adapun pembahasan-pembahasan lain yang menyertainya merupakan konsekuensi atau aksi lanjutan dan jalan untuk mencapai tujuan itu.

Setelah Abduh menetapkan landasan dasar ini dalam ranah penafsirannya, ia beranjak mengkritik kelalaian para mufassirin dari tujuan utama ini. Yaitu tentang apa yang ada dalam al-Qur’an -dari petunjuk dan bimbingan- lalu mereka perluas pembahasan tafsir mereka kepada bentuk lain dari segi balaghah, nahwu, perbedaan-perbedaan dalam hukum fikih, dan berbagai macam maqashid yang dinilali oleh Abduh; dengan itu justru dapat menghamburkan maksud asli dari kitab suci, sekaligus mengarah kepada egoisme dan fanatisme terhadap kepentingan madzhab masing-masing. Akibat dari dominasi nafsu kepentingan tersebut dikhawatirkan akan membuat mereka alpa akan makna yang hakiki dari al-Qur’an.

Menanggapi fenomena ini, Syeikh Muhammad Abduh mengklasifikasikan corak penafsiran menjadi dua bagian:

1. Penafsiran yang kering dan jauh dari ruh ketuhanan sekaligus kitab-Nya. Yang ia maksud di sini adalah penguraian/perincian per kata, lalu kedudukan kalimat dalam i’rab, dan penjelasan dari apa yang disiratkan oleh kandungan ungkapan-ungkapan serta isyarat dari disiplin ilmu tersebut. Abduh berkata: “model atau corak penafsiran yang seperti ini sebetulnya tidak pantas disebut sebagai tafsir. Akan tetapi ia adalah bentuk dari semacam latihan dan ujian dalam sebuah disiplin ilmu seperti nahwu, ma’ani, dan lain sebagainya.

2. Corak kedua adalah metode penafsiran yang digunakan oleh mufassir dengan memahami maksud sebuah ucapan, Hikmah at-Tasyrî’ fi al-‘Aqâ’id wa al-Ahkâm (dalam bentuk yang dapat menarik hasrat hati), lalu menggiringnya pada aktualisasi dalam perbuatan nyata dan menemukan petunjuk yang tersirat dalam setiap kalam/sabda. Maka dari sini diharapkan akan dapat merealisasikan firman Allah; al-Qur’an sebagai “Hudan wa Rahmatan” dan semisalnya, dari berbagai macam sifat al-Qur’an (yang dinyatakan oleh Abduh; “inilah tujuan utama yang tersirat dalam kegiatan membaca dan menafsirkan al-Qur’an”).

Dengan ungkapan di atas, sejatinya Muhammad Abduh tidak lantas mengabaikan secara serta-mertra faktor-faktor balaghiyyah dan nahwiyyah dalam penafsiran al-Qur’an. Akan tetapi Abduh bermaksud agar para mufassir bisa mengambil unsur tersebut sesuai kebutuhan saja. Misalnya seorang mufassir menjelaskan dari segi balaghah dan i’rab terhadap sebuah kalimat yang masih ambigu dan bersifat multiinterpretatif, dan dalam bentuk yang sesuai dengan kaidah fashahah Qur’an dan balaghahnya, dengan tanpa berlebih-lebihan.[8]

Selanjutnya, secara lebih rinci Muhammad Abduh juga membagi tingkatan tafsir menjadi dua bagian:

Ø Tingkatan yang terendah, adalah model tafsir yang hanya menjelaskan secara global apa yang bisa dicerna oleh hati tentang kebesaran Allah dan penyucian-Nya. Lalu dapat menghindarkan nafsu dari perbuatan jelek, dan menariknya untuk berbuat kebaikan (baca: Q.S al-Qamar: 17).

Ø Adapun tingkatan yang tertinggi hanya akan tercapai setelah memenuhi beberapa syarat berikut ini:

a. Memahami hakikat makna per kata yang terkandung dalam al-Qur’an, dengan syarat seorang mufassir harus mendengarnya langsung dari ahli bahasa, bukan hanya mendengarnya dari perkataan dan pemahaman seseorang (yang belum jelas.)

b. Memahami berbagai macam gaya bahasa. Dengan kemampuan ilmunya, seorang mufassir diharapkan mampu memahami gaya bahasa dalam ungkapan-ungkapan al-Qur’an yang tinggi. Tingkatan ini dapat dicapai dengan mempelajari dan menerapkan rumus-rumus atau kaidah “kalam baligh” serta dibarengi dengan pendalaman corak sastra, dan menjaga agar bisa selaras dengan makna yang tekandung dalam teks.

c. Mengetahui ilmu sosiologi. Di dalam al-Qur’an banyak kita temukan ayat yang berbicara tentang kondisi sosial masyarakat , kisah-kisah sejarah umat manusia, dan sunnatullah dalam diri manusia, yang menjadikan ilmu sosiologi itu penting untuk dipelajari.

d. Mengetahui konteks dimana dan bagaimana al-Qur’an diturunkan, sehingga dapat mengetahui sisi-sisi al-Qur’an sebagai petunjuk pada masa kenabian dimana al-Qur’an diwahyukan.

e. Mengetahui sejarah perjalanan Nabi SAW dan para sahabatnya, serta keilmuan mereka dan perbuatan mereka dalam ibadah dan mu’amalah.

Tujuan utama yang termaktub dalam kegiatan membaca tafsir adalah penggabungan syarat-syarat tersebut, agar bisa mencapai target purna yaitu mendapatkan pemahaman akan arti sebuah ungkapan Tuhan. Di samping itu juga untuk mendapatkan pemahaman tentang hikmah pensyariatan akidah dan hukum dalam bentuk yang bisa menarik hati, sekaligus mengantarkannya pada perbuatan nyata atas pantulan cahaya petunjuk yang tersimpan dalam al-Qur’an. Adapun tujuan hakiki dari semua usaha tersebut adalah untuk mencari petunjuk dari al-Qur’an al-Karim.[9]

Perbandingan Antar Metode


Berangkat dari beberapa uraian di atas, setidaknya kita mulai dapat menyimpulkan metode seperti apa yang sebenarnya diinginkan oleh Syeikh Muhammad Abduh. Maka jika kita komparasikan dengan empat metode tafsir yang sudah ada; tahlili (analitik), ijmâli (global), muqârin (perbandingan) dan maudhu’i (tematik), kita dapat menganalisa Abduh lebih cenderung membuat metode sendiri yang tidak berkutat pada salah satu dari keempat metode itu.

Metode tahlili; tentu saja Abduh tidak murni menggunakan satu metode ini. Karena yang dikehendaki oleh metode analitik adalah dengan menjelaskan setiap kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat; yaitu unsur-unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat; yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma ahlak dan lain sebagainya.

Sementara metode ijmâli; metode ini sebenarnya hampir sama dengan metode pertama (dalam hal menafsirkan al-Qur’an dari ayat per ayat). Namun perbedaannya terdapat pada penjelasan yang detail dan rinci pada metode pertama, sementara metode ijmâli tidak menjelaskan per ayat secara detail dan tuntas. Maka Abduh tidak termasuk memakai metode ini karena beliau belum sempat menghasilkan kitab tafsir secara tuntas 30 juz.

Lalu metode muqârin atau muqâranah; tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama’ tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu. Jika kita tengok ulang, maka Muhammad Abduh terlihat jarang menggunakan metode ini, terlebih dengan memberikan perbandingan antara pendapat-pendapat para ulama’ tafsir.

Adapun metode maudhu’i; Muhammad Abduh juga tidak menempuh metode ini karena yang dimaksudkan di sini adalah penyusunan tafsir dengan mengumpulkan ayat-ayat yang se-tujuan menjadi satu bab sesuai tema/topik yang ditentukan. Sementara selama mengajar di al-Azhar beliau hanya sempat mengajarkan tafsir mulai dari awal al-Qur’an (surat al-Fatihah) pada bulan Muharram 1317 H dan selesai hingga surat an-Nisa’ ayat 126, pada pertengahan Muharram 1323 H.[10]

Metode penafsiran Abduh memang cukup susah untuk dianalisa dan dikategorikan. Pasalnya beliau memang belum pernah secara khusus menulis satu kitab tafsir secara utuh. Namun setidaknya kita dapat mengetahui lebih jauh tentang metodologi tafsir Muhammad Abduh lewat corak yang ia hadirkan dalam beberapa kajian tafsirnya.

Corak Khusus Penafsiran Muhammad Abduh

Bukan hanya seorang mufassir, bahkan setiap orang pun (yang mengetahui bahasa arab) ketika membaca al-Qur’an, maka maknanya akan jelas di hadapannya. Namun tatkala ia membacanya sekali lagi, tidak menutup kemungkinan ia akan mendapati makna lain yang berbeda dari makna pertamanya. Demikian seterusnya hingga Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Adzim sebagai berikut: “Ayat-ayat al-Qur’an bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dari sudut yang lainnya. Dan tidak mustahil ketika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan mendapatkan yang lebih banyak dari apa yang kita lihat”.

Oleh karena itu, setiap penafsir akan menghasilkan corak penafsiran yang berbeda tergantung latar belakang keilmuan, kondisi sosial kemasyarakatan, aliran kalam, madzhab fikih, kecenderungan sufisme mufassir itu sendiri, sehingga akan menghasilkan berbagai macam corak dan warna penafsiran al-Qur’an. Beberapa corak yang muncul antara lain Corak Sastra Bahasa[11], Corak Filsafat dan Teologi[12], Corak Penafsiran Ilmiah, Corak Fikih[13], Corak Tasawuf[14] dan Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan.[15]

Adapun corak yang terakhir inilah (Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan) yang digagas dan didengungkan pertama kali oleh Syeikh Muhammad Abduh. Melalui corak ini Abduh ingin menguak dan menjelaskan petunjuk-petunjuk dari ayat al-Qur’an yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi berbagai macam penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk-petunjuk ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti, namun enak didengar.

Penutup

Demikianlah uraian sederhana seputar riwayat hidup Syeikh Muhammad Abduh dan sepak terjangnya dalam dunia tafsir. Tidak ada manusia sempurna di dunia ini kecuali para Nabi dan Rosulullah yang ma’shum. Setiap orang pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Maka dengan mengenal dan mengkaji para tokoh dan ulama’-ulama’ terdahulu Islam, kita bisa mengambil ‘ibrah dan pelajaran yang baik dari mereka untuk kita teladani.

Ada beberapa poin penting yang bisa kita petik dari Syeikh Muhammad Abduh. Yang pertama, yaitu semangat beliau dalam menyebarkan dan menyegarkan ajaran islam. Dengan memberikan tasyji’ kepada umat islam untuk terus belajar dan menggali ilmu, sehingga dari situ kita tidak hanya menjadi muqallid yang kaku, namun menjadi muslim yang kaffah. Kedua, dalam sebuah ungkapannya beliau berkata : bahwa ”al-Qur’an adalah sebagai timbangan dimana nilai-nilai akidah akan diketahui dari situ. Dan beliau menyatakan bahwa, wajib bagi setiap orang yang menelaah al-Qur’an agar menjadikannya sebagai sumber atau asal-muasal dimana akidahnya itu diambil, lalu ia mengambil sebuah istinbath/keputusan dari situ”.

Pesan tersirat dari ungkapan di atas adalah, bahwa keberadaan al-Qur’an adalah sumber dari segalanya. Maka setiap akidah, syari’at, hukum dan lain sebagainya berasal dari al-Qur’an. Dan bukanlah sebaliknya, yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan dan pembenar atas klaim madzhab masing-masing ataupun aliran masing-masing.

Ketiga, untuk menjadi seseorang yang “luar biasa”, terkadang kita memang harus siap menerima penentangan atau bahkan terasingkan tanpa terbuang atas sikap yang kita ambil. Hingga pada akhirnya kita dapat benar-benar membuktikan bahwa sikap kita itu tidak salah, bahkan mendekati ‘kebenaran’. Maka, to be different is not crime! Wallahu a’lam.[]


* Makalah ini dipresentasikan dalam Diskusi Reguler KSW pada hari Selasa tanggal 13 Maret 2007 di Aula Griya Jateng H.10, Kairo, Mesir.

** Mahasiswa tingkat 2 Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo yang juga sebagai Koordinator Dept. Kaderisasi KSW 06/07 dan santri Afkar for Aufklarung PCINU Mesir.

[1] Dr. Munî’ Abdul Halim Mahmud, Manâhij al-Mufassirîn, Maktabah al-Iman, Kairo, 2003, cet. 2, hal. 242

[2] Shalah Zaky Ahmad, Qâdatu al-Fikr al-Arabiy, ‘Ashr al-Nahdhah al-Arabiyyah 1798/1930, Kairo: Dâr Sa’ad al-Shabah, 1993, cet. 1, hal. 111

[3] Dicuplik dan diringkas dari buku Rasionalitas al-Qur’ân, Studi Kritis atas Tafsir al-Manâr, karya M. Quraish Shihab, Jakarta: Lentera Hati, 2006, cet. 1

[4] Dr. Muhammad Husein al-Dzahabi, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Avand Danesh LTD, 2005, cet. 1, jilid 2, hal. 371-372.

[5] Penjelasan lengkapnya bisa dilihat di “al-A’mâl al-Kâmilah li al-Imâm Muhammad Abduh”, tahqîq wa taqdîm Dr. Muhammad Imarah, Jilid 5, tentang tafsir surat an-Nisâ’.

[6] Dr. Muhammad Husein al-Dzahabi, op. cit, hal. 372-373.

[7] Dr. Munî’ Abdul Halim Mahmud, op. cit, hal. 244.

[8] Dr. Muhammad Husein al-Dzahabi, op. cit, hal. 373-374.

[9] Dr. Munî’ Abdul Halim Mahmud, op. cit, hal. 245-246.

[10] Dr. Muhammad Husein al-Dzahabi, op. cit, hal. 372.

[11] Tafsir dengan corak ini bisa kita lihat seperti Tafsir “al-Kasysyâf” karya al-Zamakhsyari.

[12] Baca: dalam kitab “Atsar at-Tathawwur al-Fikri fi at-Tafsîr fi al-Ashr al-Abbasi” karya Dr. Musa’id Muslim Abdullah Ali Ja’far, Beirut: Mu’assasah ar-Risâlah, hal. 281-289, tentang pembahasan pengaruh Filsafat dan Ilmu Kalam terhadap Tafsir.

[13] Seperti halnya yang jamak diketahui bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum pertama dalam islam (fikih, red). Sementara itu, Fikih merupakan tiang keilmuah islam dalam bidang amaliyyah (ibadah dan mu’amalah), yang diatasnya terdapat tanggung jawab untuk dapat mengatur kehidupan masyarakat muslim, serta falsafah moral perilakunya. Maka dari sini sangat jelas bahwa ia kerkait-kelindan dengan Tafsir, yang merupakan interpretasi dari kalam Tuhan (baca: dalam kitab referensi sebelumnya di footnote 12). Dan kemunculan corak fikih dalam tafsir ini tentu didahului oleh kemunculan berbagaimacam madzhab fikih, yang tentu saja selalu merujuk pada al-Qur’an (sebagai sumber dasar) dalam pembahasan setiap hukumnya. Namun ironisnya, terkadang para fuqaha’ justru terjebak pada sikap fanatisme buta dan tidak inshaf, dengan mencari-cari dalil al-Qur’an dengan dalih membenarkan madzhabnya masing-masing. Satu yang dikritik oleh Abduh di sini adalah, bahwa alqur’an adalah sebagai sumber awal dan timbangan dari berbagaimacam cabang keilmuan, aliran, dan lain sebagainya. Dan bukan justru al-Qur’an sebagai alat untuk mengklaim kebenaran setiap aliran yang berbeda-beda. Abduh berkata:“(yang aku maksudkan adalah supaya al-Qur’an menjadi asal-muasal yang diatasnya muncul berbagai macam madzhab dan pemikiran keagamaan, bukan justru madzhab yang menempati posisi asal dan al-Qur’an hanya sebagai penyangganya saja)”.

[14] Contoh dari corak ini dapat kita lihat dalam kitab “Khaqâ’iq at-Tafsîr” karya Abu Abdirrahman as-Silmiy dan kitab “Lathâ’if al-Isyârât” karya Imam Abi al-Qasim al-Qusyairiy.

[15] Corak Sastra Kemasyarakatan tersebut dapat kita lihat dari kemunculan Madrasah Tafsir Muhammad Abduh yang ia pelopori, dengan didukung dan dikembangkan oleh para muridnya yang antara lain adalah; M. Rasyid Ridha dan Syeikh Muhammad Musthafa al-Maraghi. Pembahasan ini dapat kita temukan pula dalam kitab “Tafsir wa al-Mufassirun”, karya al-Dzahabi pada Bab Corak Sastra Kemasyarakatan dalam Tafsir.

Baca Selanjutnya...!...