Kajian Tematik (1)

Thursday, September 18, 2008

USHUL FIKIH, HERMENEUTIK DAN SEMIOTIK;
Sebuah Pengantar Studi[1]

(Oleh: M. Luthfi al-Anshori[2])


“…Dan Kami turunkan Kitab (al-Qur`an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu,
sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah (muslim).” (QS. An-Nahl [16]: 89)


Prolog

Al-Qur`an adalah ruh semesta; olehnya segala yang ada lebih bermakna, karenanya segala yang gelap menjadi terang dan kepadanya segala pengetahuan bermuara. Ia ibarat sebuah pondasi kokoh, yang di atasnya berdiri bangunan menjulang berkilau cahaya, sehingga biasnya mampu menerangi setiap sudut cakrawala. Ia juga laksana tiang-tiang, yang menyangga berbagai apa yang membutuhkan penyangga. Iapun seperti bumi, yang darinya tumbuh berbagai pepohonan, bunga serta rerumputan yang menghias wajah dunia. Al-Qur`an adalah the way of life, sebuah kitab pedoman dalam menjalankan amanah kehidupan.

Sebagaimana termaktub dalam penggalan ayat ke-89 surat an-Nahl di atas, sepintas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, al-Qur`an diturunkan sebagai petunjuk atas segala sesuatu. Namun, apakah “segala sesuatu” yang dimaksud itu benar-benar meliputi segala aspek kehidupan manusia? Sebagian ulama mengatakan bahwa al-Qur’an memang tidak menjelaskan secara rinci seluruh urusan yang terkait dengan kehidupan manusia. Namun, di dalam al-Qur`an setidaknya telah mengandung pokok-pokok atau dasar-dasar dari segala jenis ilmu (baik secara tegas ataupun sebatas isyarat) yang berguna bagi kemaslahatan manusia secara khusus, serta keseimbangan tata kosmos secara umum.

Abdullah bin Mas’ud berkata: “telah diturunkan di dalam al-Qur`an segala jenis ilmu, dan segala sesuatu telah dijelaskan kepada kita di dalamnya”.[3]

Senada dengan diktum di atas, Imam Syafi’i juga pernah berkata: “Tanyailah aku (tentang hal apapun) sesuka kalian, maka aku akan memberi jawabannya dari dalam al-Qur`an!”.[4]

Adapun pada makalah kali ini, penulis tidak hendak mengkaji secara detail seluruh aspek ilmu pengetahuan yang dikandung al-Qur`an. Pasalnya, jika itu dilakukan, maka seumur hidup pun tak akan cukup untuk merampungkannya. Allah Swt. berfirman: “Katakanlah (Muhammad), “seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al-Kahfi [18]: 109)

Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis akan membatasi obyek kajian pada bidang ilmu Ushul Fikih saja, yang notabenenya masih mempunyai hubungan erat dengan al-Qur’an maupun Ilmu Tafsir. Di samping itu, penulis juga hendak melakukan elaborasi dengan beberapa konsep lain, yaitu hermeneutika dan semiotika. Adalah dua bidang ilmu yang menurut hemat penulis mempunyai hubungan cukup strategis dengan diskursus Ushul Fikih. Selanjutnya, semoga bimbingan Allah Swt. senantiasa menyertai proses peracikan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, juga bagi seluruh pembaca.


Definisi dan Karakteristik masing-masing Terma

I. Ushul Fikih

Ibnu Khaldun, dalam kitabnya “al-Mukaddimah” memaparkan bahwa, disiplin Ushul Fikih merupakan salah satu ilmu ‘baru’ dalam ruang lingkup agama Islam. Meskipun demikian, ia merupakan ilmu agama yang paling penting dan banyak manfaatnya.[5] Signifikansi Ushul Fikih tersebut, menurut Isnawi, setidaknya terangkum dalam dua hal: pertama, sebagai kaidah istinbâth al-ahkâm (inferensi hukum-hukum Islam); kedua, sebagai landasan bagi pengeluaran fatwa-fatwa atas berbagai persoalan parsial.[6]

Adapun definisi Ushul Fikih sendiri, beberapa ulama mempunyai ungkapan yang berbeda-beda, namun pada dasarnya mengandung substansi yang sama. Syeikh Muhammad al-Khadlari dalam kitab “Ushûl al-Fiqh” menyebutkan bahwa, Ushul Fikih adalah: “kumpulan kaidah-kaidah, yang dengannya akan mengantarkan pada proses inferensi (istinbâth) hukum-hukum Islam, dari berbagai dalil yang ada”[7]. Sementara Dr. Abdul Karim Zaidan, dalam kitab “al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh” menyatakan, Ushul Fikih adalah: “ilmu dengan berbagai macam kaidah serta dalil-dalil global (ijmâli), yang dengannya mengantarkan pada proses inferensi (istinbâth) hukum-hukum Fikih.”[8]

Agar lebih sempurna, perlu kiranya kita menyimak pengertian Ushul Fikih yang disampaikan oleh Imam al-Baidlawi dalam kitab beliau “Minhâj al-Wushûl ilâ ‘Ilmi al-Ushûl” bahwa, Ushul Fikih adalah: “ilmu/pengetahuan tentang dalil-dalil fikih secara global, tata cara penggunaannya (kaifiyyat al-istifâdah), serta orang yang melakukannya (mustafîd/mujtahid).”[9]

Bertolak dari beberapa definisi di atas, kita dapat mengambil sebuah konklusi bahwa Ushul Fikih merupakan gabungan dari tiga unsur; pengetahuan tentang dalil-dalil fikih ijmâliy, metode penarikan hukum dari dalil-dalil tersebut dan syarat-syarat seorang mujtahid.

Nah, pada ruas ini, lagi-lagi penulis tidak hendak mengkaji satu per satu tiga unsur pembangun Ushul Fikih tersebut. Namun secara lebih spesifik akan sedikit membidik unsur kedua, yaitu terkait metode penarikan hukum serta kaidah-kaidahnya.

Sebagaimana yang lazim diketahui, bahwa landasan hukum dalam Islam diambil dari dua sumber utama; al-Qur`an dan al-Hadits. Oleh sebab itu, ketika melakukan proses istinbâth (inferensi) hukum, seorang juris (faqîh) tentu saja harus berurusan dengan teks kitab suci dan juga tradisi. Mengingat urgensitas teks-teks keagamaan tersebut, hampir separo dari pembahasan dalam Ushul Fikih dialokasikan untuk membahas dan menjelaskan kaidah-kaidah serta metodologi dalam mengambil makna dan kandungan yang ada di balik tiap-tiap lafaz.

Dalam berbagai literatur Ushul Fikih, kita akan dengan mudah menemukan berbagai penjabaran tentang fasal-fasal yang terkait dengan pembahasan lafaz. Dalam kitab “Ushûl al-Fiqh” karya Syeikh Muhammad al-Khadlari, pembahasan ini dimasukkan dalam istilah al-Qaulu fi al-dilâlât yang diklasifikasikan lagi menjadi dua bagian, yaitu dilâlat menurut madzhab Hanafi dan dilâlat menurut madzhab Syafi’i. Sementara kalau menilik kitab “al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh”, kita akan menemukan sebuah pembahasan khusus dalam fasal: “al-qawâ’id al-ushûliyyah al-lughawiyyah” yang mencakup beberapa kaidah penting terkait dengan lafaz. Antara lain adalah; âm dan khâsh, muthlaq-muqayyad, al-amru wa al-nahyu, lafadz musytarak, haqîqi dan majâziy, dzâhir, nash, muhkam-mutasyâbih, dan lain sebagainya.

Dari sedikit deskripsi di atas, setidaknya kita tahu bahwa para ushûliyyin dan ulama-ulama Islam secara umum telah meletakkan kaidah-kaidah dasar atau metode dalam kerangka pembacaan teks. Sebab, hal inilah yang sejatinya menjadi inti dari proses pengambilan hukum yang dilakukan para juris. Untuk itu, salah satu yang menjadi syarat penting seorang mujtahid adalah menguasai kaidah bahasa, yang dalam hal ini termasuk nahwu dan sharf.

Bagian ini, dalam diskursus Ushul Fikih biasa disebut dengan istilah ushûl lafdzi. Berangkat dari sini, hubungan antara Ushul Fikih dan Hermeneutik bisa digambarkan. Dan oleh karenanya, terma tafhîm (memahamkan) dan tafâhum (saling memahami) mengetengah di antara komunikan (mutakallim) dan komunikator (mukhâtab), dimana keduanya sejatinya tak memiliki horizon yang sama.[10]


II. Hermeneutik

Istilah hermeneutika merupakan turunan dari kata kerja Yunani, hermeneuin yang berhubungan dengan kata benda hermenes dan terkait dengan dewa dalam mitologi Yunani kuno bernama “Hermes”. Hermes merupakan utusan para dewa untuk membawa pesan Ilahi yang memakai bahasa “langit” kepada manusia yang menggunakan bahasa “dunia”.[11] Untuk tujuan itulah maka diperlukan interpretasi.

Sebagai turunan dari simbol dewa, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks. Karena obyek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variabelnya, maka tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu muncul. Melalui hermeneutika, hasil sebuah analisis bisa berbeda dengan maksud penggagas, namun juga bisa sama.[12]

Secara umum, kemunculan hermeneutik dipelopori oleh Friedrich Daniel Ernst Scheleirmacher[13] (1768-1834 M.), seorang teolog beragama protestan dan juga sastrawan yang berasal dari Jerman. Karena perhatian dan kesungguhannya dalam kajian hermeneutika, maka ia disebut-sebut sebagai bapak ilmu ‘tafsir’ modern atau neo-hermeneutik yang sah. Mengingat posisi dia sebagai seorang pendeta protestan yang begitu terpengaruh oleh teologi ketuhanan agama yang dianutnya, hal itu secara natural berpengaruh pada pola fikirnya yang menggabungkan antara kemampuan nalar dengan sense of religion yang ia miliki. Hal ini berbeda dengan beberapa filosof lain yang cenderung memisahkan antara aql dan dîn.[14]

Sebagai pencetus hermeneutika teoritis, Scheleirmacher mengandaikan adanya sebuah usaha untuk merekontsruksi makna, yang dalam hal ini ia menawarkan dua pendekatan: pertama, pendekatan linguistik yang mengarah pada analisis teks secara langsung; kedua pendekatan psikologis yang mengarah pada unsur psikologis-subyektif sang penggagas sendiri. Dua unsur pendekatan ini dalam hermeneutika teoritis, dipandang sebagai dua hal yang tidak boleh dipisah. Memisah salah satunya akan menyebabkan sebuah pemahaman terhadap pemikiran seseorang menjadi tidak obyektif. Sebab, teks menurut hermeneutika teoritis sebagai media penyampaian gagasan penggagas kepada audiens. Agar pembaca memahami makna yang dikehendaki penggagas dalam teks, hermeneutika teoritis mengasumsikan seorang pembaca harus menyamakan posisi dan pengalamannya dengan penggagas teks. Dia seolah-olah bayangan penggagas teks. Agar mampu menyamakan posisinya dengan penggagas, dia harus mengosongkan dirinya dari sejarah hidup yang membentuk dirinya, dan kemudian memasuki sejarah hidup penggagas dengan cara berempati kepada penggagas.[15]

Pada fase-fase selanjutnya, kajian hermeneutika menjadi lebih bervarian lagi dengan kemunculan beberapa pakar lainnya. Sebut saja Wilhelm Dilthey (1833-1911 M.), seorang pakar ilmu sosial-humaniora jebolan Universitas Berlin. Ia dianggap sebagai pelanjut gagasan hermeneutika Scheleirmacher. Setelah Dilthey, pada akhir abad 19 muncul seorang tokoh bernama Martin Heidegger (1889- 1976 M.) yang terkenal dengan bukunya Being and Time, lalu Hans George Gadamer (1900-2002) sang penggagas hermeneutika filosofis. Yang tak kalah masyhurnya adalah Paul Ricouer, seorang filosof Perancis yang banyak bersentuhan dengan kajian semantik. Meskipun mereka berangkat dari sebuah metode dan latar belakang yang berbeda-beda, namun secara aklamatis seakan mereka bersepakat bahwa hermeneutik adalah produk paling asli dari budaya menafsirkan Injil.[16]

Bertolak dari sedikit gambaran di atas, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa beberapa (untuk tidak menyebut semua) kajian hermeneutika juga terkait dengan disiplin Ushul Fikih. Hal itu antara lain ditengarai oleh kesamaan tujuan sebagaimana keduanya yang menghendaki terungkapnya sebuah makna yang dikandung oleh sebuah teks. Menariknya, bahwa ketika hermeneutika mengandaikan sebuah makna yang up to date dan selaras serta integral dengan laju zaman, maka Ushul Fikih pun demikian. Sebab, sebagaimana yang didengungkan oleh para pakar Fikih (begitu juga seluruh ulama Islam), bahwa syari’at Islam mempunyai sebuah karakteristik khusus, yaitu “peka zaman” (shâlih li kulli zamân wa makân). Dengan bergulirnya waktu yang tak jarang memunculkan problem-problem baru, entah yang bersifat kemanusiaan ataupun terkait dengan agama, maka konsekuensi logisnya adalah bagaimana seorang juris (faqîh) bisa melakukan dinamisasi teks keagamaan (yang notabenenya telah diturunkan sejak berabad yang lalu dalam sebuah dimensi ruang dan waktu yang berbeda dengan sekarang), sehingga menjadi layak dan relevan untuk diterapkan sesuai tuntutan unsur-unsur yang ada di luar teks.


III. Semiotik

Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah “semiologi” lebih banyak digunakan di Eropa, sedangkan “semiotik” lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani “semeion” yang berarti ‘tanda’ atau “sign” dalam bahasa Inggris itu, adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai sebuah teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia.[17]

Konsep ini (semiotik) merupakan sebuah teori yang mulai populer pada masa postmodernisme. Yaitu yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913 M.), yang oleh dunia modern diakui sebagai peletak awal dasar-dasar semiotika. Namun jika kita menengok ke berbagia literatur turâts Islam, khususnya dalam bidang kajian Ushul Fikih, maka kita akan menemukan sebuah fakta bahwa para ushûliyyûn sebenarnya telah memakai konsep ini, dalam rangka menggali hukum Islam dari sumbernya; al-Qur`an dan al-Hadits.

Konon, para Ushûliyyûn telah menggunakan metode bayâni dalam yang logika dasarnya adalah signifikasi tanda. Yaitu sebuah “tanda” yang dibentuk oleh dua unsur penting; dâllun (penanda) dan madlûlulun (petanda). Adalah imam Syafi’i (150-204 H.), salah satu imam pencetus, sekaligus yang membukukan pertama kali kajian Ushul Fikih dalam sebuah masterpiece-nya, “al-Risâlah”.

Ferdinand de Saussure, yang kala itu penjadi seorang pengajar di universitas Jenewa pada 1906, telah memberikan berbagai kuliah kepada para muridnya tentang semiotika sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya.

Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai 1960-an. Mazhab tersebut disebut strukturalisme. Tesis utama strukturalis ialah “bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena”.

Pada abad ke-3 Hijriyah Ushuliyyûn telah menciptakan sebuah metode baca teks. Metode ini menjadi bagian penting dalam proses istinbâth hukum Islam. Dalam disiplin Fikih dan Ushul Fikih mempelajari metode bayâni adalah suatu keniscayaan, karena seorang mujtahid mau tidak mau ketika melakukan istinbâth hukum harus berhadapan dengan teks, al-Qur`an dan al-Hadits, yang keduanya menggunakan media bahasa untuk menyampaikan pesan. Metode bayâni digunakan sebagai langkah awal untuk mendapatkan pemaknaan dari nash-nash tersebut.

Logika dasar metode bayâni adalah signifikasi tanda. Tanda dibentuk dari dua unsur, yaitu dâllun (penanda) dan madlûlulun (petanda). Nalar ini sama dengan prinsip dasar linguistik yang dikembangkan oleh Saussure. Proses signifikasi selanjutnya adalah dengan memperhatikan hubungan antar tanda dalam satu kalimat, atau disebut hubungan sintagmatik. Kedua disiplin ilmu ini, metode bayâni dan semiotika struktural, sangat memperhatikan struktur tanda-tanda.

Beberapa data di atas, setidaknya memberikan gambaran kepada kita bahwa sejatinya konsep semiotika yang digunakan oleh kalangan strukturalis telah ada dan dipraktekkan di awal-awal masa pembentukan Ushul Fikih. Namun secara lebih elaboralif, para pakar semiotika, termasuk Saussure wa man ‘alâ syâkilatihi, telah mampu mengembangbiakkan metode ini hingga sedemikian rupa dan masih saja kita kenal hingga sekarang.

Akan tetapi, semiotika dalam perkembangannya juga tidak melulu bertumpu pada hasil kajian Saussure. Bahkan pada fase selanjutnya semiotika masa strukturalis dibantai dan didekonstruksi ulang pada masa post-strukturalis oleh Jacques Derrida dan kawan-kawannya. Derrida menyebutkan bahwa tak ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang berlainan. Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan al-Qur`an. Derrida bersikukuh bahwa ada banyak cara untuk membaca dan memahami teks. Makna teks tidak lagi sama dengan apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa menimbulkan “multiple-understanding” (keragaman pemahaman) pada saat yang sama.[18]


Epilog

Dan begitulah seterusnya perdebatan seputar semiotika, hermeneutika dan pemahaman atas teks terus bergulir. Namun pada intinya, bahwa setiap konsep yang muncul itu tiada lain adalah sebuah hasil olah fikir akal manusia. Maka hasilnya pun bisa benar dan bisa juga salah. Sementara di kalangan ulama Islam sendiri, kajian tentang Ushul Fikih pun terus berkembang hingga sekarang, dan sedang menuju pada proses penyempurnaan demi penyempurnaan. Catatan yang perlu diingat, bahwa masing-masing pakar mempunyai latar belakang kultur-budaya maupun intelektual yang berbeda, sehingga obyek serta hasil kajian pun menjadi bermacam-macam. Namun tidak menutup kemungkinan bagi kita, para muta`akhkhirîn, untuk melakukan berbagai kajian komparatif atas berbagia konsep yang berbeda, namun masih mempunyai keterikatan karakter, sebagaimana Ushul Fikih, hermeneutika dan semiotika.

Ketiga disiplin di atas, kesemuanya masih berkisar pada pembahasan teks dan pengambilan makna. Semua yang tercatat, semua yang tertulis tentu tidak lepas dari tujuan dan maksud yang di kandung di dalamnya (di balik teks). Maka, ketika para penulispun sudah tiada, para generasi setelahnya masih mampu mengambil pelajaran melalui kajian teks-teks yang ada, untuk direkontekstualisasikan sesuai zaman yang ada, sehingga teks-teks tersebuat tidak hanya menjadi benda mati yang hampa makna.

Begitu juga dengan al-Qur’an dan al-Hadits, yang keduanya merupakan sumber dasar pengambilan hukum Islam, tentunya juga harus terus dikaji dan kaji, guna menghasilkan berbagia makna baru yang relevan dengan zaman maupun tempat di mana ia berada (bukan hanya relevan pada zaman dan tempat dimana ia diturunkan saja). Sebab karakter dunia adalah selalu berubah, yang mana dari perubahan itu menuntut munculnya berbagai problem baru yang belum pernah ada sebelumnya. Maka dari situ, proses pengkajian teks-teks keagamaan itu selalu dibutuhkan guna menemukan keselarasan antara dunia teks dengan dunia nyata, berikut juga antara dunia pengarang dan dunia pembaca.

Demikian sedikit yang mampu kami paparkan, semoga bermanfaat dan bisa disempurnakan lagi di masa-masa yang akan datang. Wallahu a’lam bi al-Showâb.[]


[1] Makalah ini disampaikan dalam kajian Fordian pada tanggal 13 September 2008, Hay Tsamin, Nasr City, Kairo.

[2] Mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir, Universitas al-Azhar, Kairo.

[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam kitab Tafsirnya.

[4] Termaktub dalam kitab “Manâqib al-Imâm al-Syâfi’i” karangan Imam al-Baihaqi.

[5] Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, Maktabah Usrah, Kairo, 2006, cet. I, hal. 960.

[6] Al-Isnawi, Nihâyat al-Sûl fî Syarhi Minhâj al-Wushûl ilâ ‘Ilmi al-Ushûl, Dâr Ibnu Hazm, Beirut, 1999, cet. I, jilid 1, hal. 3.

[7] Syeikh Muhammad al-Khadlari, Ushûl al-Fiqh, Maktabah Taufîqiyyah, Kairo, tidak disebutkan tahun serta edisi cetak, hal. 15.

[8] Dr. Abdul Karim Zaidan, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, Mu`assasah al-Risâlah, Beirut, 1996, cet. V, hal. 11.

[9] Al-Isnawi, op. cit, hal. 7.
[10] Disarikan dari makalah berjudul “Hermeneutik dan Ushul Fiqih; Sebuah Studi Komparatif”, yang dimuat dalam situs http://isyraq.wordpress.com , dengan tidak disebutkan nama penulisnya, tertanggal 14 Januari 2008.

[11] Musyir Basil ‘Aun, al-Fasârah al-Falsafiyyah, Dâr el-Masyriq, Beirut, 2004, cet. I, hal. 17.

[12] Disarikan dari situs http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika.

[13] Dalam diskursus hermeneutika, para pakar selalu menitikberatkan kajian mereka pada 3 unsur penting, yaitu; penggagas, teks dan pembaca. Dan berangkat dari kajian masing-masih atas ketiga unsur tersebutlah yang memunculkan karakteristik hermeneutika menjadi bervarian; hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis dan hermeneutika kritis. Nah, sementara Scheleirmacher sendiri termasuk tokoh yang mempelopori hermeneutika teoritis yangmenitikberatkan kajiannya pada problem pemahaman, yaitu bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Oleh karena tujuannya memahami secara obyektif maksud penggagas, maka hermeneutika model ini dianggap juga sebagai hermeneutika romantis yang bertujuan untuk "merekonstruksi makna".

[14] Musyir Basil ‘Aun, op. cit, hal. 66.

[15] Disarikan dari buku Musyir Basil ‘Aun, op. cit, hal. 81-86.

[16] M. Yunus Masrukhin, dalam makalahnya Tafsir, Takwil & Hermeneutik; Konflik Pemaknaan Teks, Jurnal Nuansa edisi XVI, Februaru 2008, hal. 33.

[17] Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika.

[18] Disarikan dari makalah Ali Romdhoni bertajuk “Ushul al-Fiqh dan Semiotika Post-Struktural” November 2004.

Baca Selanjutnya...!...