Napak Tilas (1)

Tuesday, October 21, 2008

Kota Tua Bersejarah; Menjelajah Kairo Fathimiyyah*
Oleh: M. Luthfi al-Anshori

Ungkapan yang sering kita dengar dari setiap pengunjung negeri Mesir cukup bervariasi, sesuai dengan obyek yang dituju serta latar belakang masing-masing pengunjung. Seorang pecinta sejarah mungkin akan mengatakan bahwa "Mesir kaya akan peradaban". Seorang pecinta ilmu akan berkata bahwa "Mesir adalah gudang ilmu", seseorang yang suka akan kedisiplinan mungkin akan mengatakan "Mesir itu semrawut dan serba tidak teratur", seorang pemerhati lingkungan akan berkata "Mesir negara yang kotor" dan masih banyak lagi ungkapan dan komentar yang sering kita dengar dari para pengunjung negeri seribu menara ini.

Sudah barang tentu bahwa setiap negara mempunyai sisi-sisi positif dan negatifnya. Mesir pun tidak lepas dari kedua penilaian tersebut. Banyak hal positif yang akan dapat kita jumpai di Mesir, demikian pula banyak hal negatif yang masih dapat kita temukan di mana-mana. Namun seorang mukmin harus cerdas dalam menentukan pilihan-pilihan, madu atau racunkah yang nantinya akan kita bawa pulang ke tanah air tercinta. Tentunya pilihan yang kita harapkan tidak jauh berbeda dengan niat yang kita ikrarkan ketika kita mulai melangkahkan kaki meninggalkan kampung halaman menuju negeri Mesir. Yaitu menuntut ilmu dan meningkatkan keimanan serta ketakwaan kita kepada Sang Pencipta, Allah Swt. Adapun selebihnya, kita dapat memperluas cakrawala, memperkaya tsaqâfah dan mentadaburi sisa-sisa peninggalan sejarah “negeri tua” yang menyimpan segudang “mutiara”.

Di samping kemegahan khazanah intelektual yang termanifestasikan oleh banyaknya universitas, perguruan tinggi, lembaga-lembaga ilmiah, perpustakaan maupun tokoh-tokoh pemikir internasional, Mesir juga sangat kaya dengan beragam peninggalan sejarah dan peradaban. Jika sisi ilmiah itu telah jamak diketahui dan dapat dinikmati oleh kalangan internasional secara luas, tidak begitu dengan sisi yang lain; yaitu sisi sejarah dan bukti nyata hasil kretifitas anak manusia yang kala itu telah mencapai titik kejayaan luar biasa. Ya, hingga puluhan ribu mahasiswa yang berdatangan dari berbagai penjuru duniapun tampaknya belum banyak yang melirik ataupun tertarik untuk menelusuri “situs-situs mewah” ini.

Kota seribu menara adalah julukan yang akrab disandangkan untuk ibu kota negeri Mesir, Kairo. Namun julukan yang telah familiar itu apakah telah dibuktikan secara nyata oleh para pengunjung, terlebih para mahasiswa yang cukup lama bermukim di atas buminya? Panorama masjid-masjid berkubah yang tetap gagah dan tak goyah walau diterpa angin dan badai. Bangunan-bangunan kuno yang masih lestari dengan segenap legendanya. Kairo sungguh kaya dan semakin lengkap dengan itu semua. Sebuah pesona pemandangan klasik yang mampu memberikan gambaran utuh sejarah kegemilangan masa lampau. Kairo dengan beragam masjid tua yang tak lekang dimakan usia, Kairo dengan benteng-benteng perkasanya yang mengisahkan semburat keberanian perjuangan. Maka dengan itu, marilah kita sejenak melakukan safari budaya, menelusuri secuil dari kekayaan peninggalan sejarah itu, di sebuah kawasan eksotik Mesir, Kairo Fathimiyyah.

Kawasan itu sejatinya terletak tidak begitu jauh dari pusat aktifitas perkuliahan mahasiswa al-Azhar Fakultas Ilmu-Ilmu Agama, Husein-Darrasah. Meskipun demikian, tidak banyak dari para mahasiswa yang mau atau tertarik untuk menelusuri situs-situs bersejarah itu. Entah apakah karena ketidaktahuan mereka, atau karena memang sengaja dan merasa tak perlu mengenalinya secara lebih dekat. Padahal jika kita mau menelusuri Kairo secara detail dan lengkap, niscaya akan kita temukan pesona indahnya, yang mengilhami kekayaan batin yang tak terperikan.

Tidak jauh dari kawasan Darrasah ada “Bab el-Nashr” yang merupakan salah satu gerbang dari beberapa gerbang benteng yang terdapat di kota Kairo. Jika ditempuh dari arah Madinatul Bu’uts al-Azhar, gerbang itu dapat ditemukan berhadapan dengan lahan pekuburan yang terletak di pinggiran jalan menuju Bab el-Sya’riyyah, belokan ke kanan pojokan area pekuburan para ruas jalan menuju arah Darrasah. Gerbang itu termasuk salah satu bangunan perang (benteng pertahanan) di masa Dinasti Fathimiyyah. Ia berbentuk persegi empat yang kokoh karena dibangun dari bebatuan balok ukuran besar. Akhirnya tersusunlah sebuah gerbang dengan ukuran lebar sisi depan 24,22 meter, dengan ketebalan 20 meter dan ketinggian 25 meter.

Tidak jauh dari “Bab el-Nashr” kita akan menemukan “Bab el-Futuh” yang juga didirikan pada masa Dinasti Fathimiyyah atas perintah Jauhar as-Siqly, dan selesai disempurnakan pada masa pemerintahan Badr al-Gamaly tahun 480 H/1087 M yang kini dapat kita temukan terletak di samping Masjid al-Hakim bi Amrillah. Bab (gerbang/pintu) ini terdiri dari dua menara silinder yang mengapit pintu masuknya. Guna memperingkas ruang, dalam tulisan kali ini kita akan memilih “Bab el-Futuh” sebagai pintu masuk menelusuri beberapa sudut bersejarah Kairo Fathimiyyah.

Dengan memasuki “Bab el-Futuh” kita akan menjumpai “Masjid al-Hakim bi Amrillah” yang terletak berdampingan dengannya. Masjid ini dibangun tahun 380 H/990 M pada masa pemerintahan al-Aziz Billah al-Fathimy, raja kedua Dinasti Fathimiyyah. Al-Aziz Billah sendiri adalah putra dari al-Mu'iz Lidinillah, raja pertama Dinasti Fathimiyyah yang berasal dari Maroko. Namun beliau telah meninggal sebelum pembangunan masjid ini selesai, hingga akhirnya disempurnakan oleh putranya al-Hakim bi Amrillah, raja ketiga Dinasti Fathimiyyah, pada tahun 403 H/1013 M. Maka masjid ini dinisbatkan kepadanya, karena dialah yang meneruskan dan menyempurnakan pembangunan masjid ini.
Masjid al-Hakim bi Amrillah adalah masjid kedua yang dibangun pada masa Dinasti Fathimiyyah di Mesir, yang sebelumnya telah membangun Masjid al-Azhar. Dan Masjid ini juga merupakan pusat ilmu kedua setelah Masjid al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyyah.

Di dalam masjid, terdapat sumur yang airnya hingga saat ini masih mengalir dan dipakai untuk berwudhu. Menurut keterangan petugas masjid dan penilik benda-benda bersejarah Mesir, air yang dihasilkan dari sumur tersebut rasanya mirip dengan Air Zam-Zam. Di Masjid ini juga terdapat dua mihrab. Mihrab yang pertama dibangun pada masa Dinasti Fathimiyyah, yang bercirikan tertulis Muhammad wa Ali (Muhammad dan Ali) karena semaraknya madzhab Syi’ah pada masa itu. Dan mihrab yang kedua dibuat pada Dinasti Mamalik, yang letaknya di samping Mihrab Fathimiyyah. Masjid ini merupakan masjid terluas kedua di Kairo setelah Masjid Ibnu Thulun.

Keluar dari Masjid al-Hakim bi Amrillah kita dapat melanjutkan perjelajahan menyusuri jalanan yang cukup semrawut dengan aroma kunonya di beberapa bangunan sekelilingnya. Obyek penting selanjutnya adalah “Bait el-Suhaemy”. Ia merupakan salah satu rumah peninggalan bersejarah di Mesir yang menyimpan berbagai keistimewaan khusus di dalamnya. Maka tidak heran jika para wisatawan manca negara hadir untuk menyaksikan rumah bersejarah tersebut.

Bait el-Suhaemy terhitung sebagai salah satu tempat berziarah atau tempat berkunjung terkenal yang menghadirkan satu contoh tersendiri dari berbagai corak arsitektur bangunan tempat tinggal khusus, bahkan ia juga terhitung sebagai satu-satunya rumah ideal yang menghadirkan keindahan bangunan Islam pada masa Utsmaniyyah di Mesir. Adapun rahasia dari penamaan yang langka ini terkembali pada bani/keluarga terakhir yang tinggal di dalamnya. Yaitu keluarga Syeikh Muhammad Amin al-Suhaemy yang merupakan Syeikh Ruwâq al-Atrâk di al-Azhar al-Syarîf dan beliau meninggal pada tahun 1928 M.

Bait el-Suhaemy dibangun pada masa Dinasti Utsmaniyyah tahun 1648 M oleh Syeikh Abdul Wahab at-Thablawy. Pembangunan rumah ini dilaksanakan dalam beberapa tahap hingga akhirnya jadi seperti yang masih ada saat kini. Bait al-Suhaemy terdiri dari dua bagian. Pertama adalah bagian selatan yang didirikan oleh Syeikh Abdul Wahab at-Thablawy tahun 1058 H – 1648 M. Kedua adalah bagian utara yang didirikan oleh Ismail bin Syalby pada tahun 1211 H – 1796 M, lalu dua bagian ini akhirnya ia gabungkan menjadi satu. Pada tahun 1931 M, pemerintah Mesir membeli rumah ini dari para pewarisnya dengan harga 6.000 Pound Mesir, dan menghabiskan 1000 Pound untuk melakukan perbaikan.

Setelah beberapa saat singgah di halaman Bait al-Suhaemy, kita bisa melanjutkan perjalanan melewati beberapa masjid kuno yang menampakkan kegagahan bangunannya. Beberapa di antaranya adalah Madrasah dan Masjid Kamiliya (1180 – 1238 M), Masjid al-Aqmar (1125 M), Madrasah dan Masjid Barquq (1386 M), hingga akhirnya sampai pada Masjid Sayyidna Husain dan Masjid al-Azhar (970 M). Ketiga masjid yang disebutkan terakhir itu tergolong masjid-masjid besar yang ada di Kairo. Masjid Barquq sendiri jika kita amati secara lebih dekat akan menampakkan kemegahan dan kekokohannya, dengan kedua menaranya yang menjulang tinggi mencakar langit.

Sementara Masjid Husain adalah semacam masjid Istiqlal-nya Jakarta, yang merupakan masjid Jami’ resmi pemerintahan. Ia termasuk masjid tertua Mesir yang dibangun pada tahun 1154 M, terletak di dekat sebuah pasar masyhur Khan el-Khalily. Masjid ini dianggap sebagai salah satu situs suci Islam di Kairo, yang dibangun di atas pekuburan para khalifah Dinasti Fathimiyyah, sebuah fakta yang baru ditemukan kemudian setelah dilakukan proses penggalian. Di dalam masjid terdapat sebuah makam yang diyakini sebagai tempat di mana kepala Sayyidina Husain dikuburkan, yang masih dapat kita temui hingga kini.

Sedang masjid al-Azhar, yang sudah sangat familiar di kalangan mahasiswa, juga merupakan peninggalan Dinasti Fathimiyyah yang menyimpan segudang sejarah. Ia adalah masjid pertama Dinasti Fathimiyyah, yang juga difungsikan sebagai pusat pengkajian ilmu-ilmu agama. Sebelum akhirnya menganut madzhab Sunni, konon masjid al-Azhar dikuasasi oleh orang-orang Syi’ah.

Tidak jauh dari masjid al-Azhar, dengan menelusuri sepanjang jalan Husain ke Arah Attaba kita akan menemukan “Bab Zuwayla”. Terletak tidak jauh sebelum Bab Zuwayla terdapat sebuah masjid besar yang dikenal dengan sebutan "Red Mosque". Ia adalah “Masjid al-Muayyad” yang didirikan oleh sultan al-Muayyad dan selesai dibangun pada tahun 1422 M.

Adapun Bab Zuwayla, ia merupakan salah satu gerbang terbesar di Kairo yang didirikan pada tahun 485 H – 1092 M. Ia dikenal juga dengan sebutan “Bawwabah al-Mutawally” (gerbang al-Mutawally). Pintu gerbang Zuwayla dahulu pernah menjadi sejarah tempat pelaksanaan hukuman gantung pertama di Mesir. Pintu ini dikenal dengan pintu Mutawally karena dinisbatkan kepada seorang ahli ibadah dan orang shaleh terkenal yang bernama Syaikh Mutawally. Syaikh Mutawally terkenal mempunyai banyak karamah, di antaranya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, khususnya sakit gigi, dengan cara pengobatan yang tentu sangat berlainan dengan ahli lainnya. Di pintu ini kita juga akan menyaksikan banyak gigi serta rantai yang dahulu dipakai untuk menggantung orang jahat. Setelah mengalami perbaikan selama kurang lebih 900 tahun, Bab Zuwayla yang merupakan peninggalan bersejarah Dinasti Fathimiyyah kembali diresmikan dan dibuka pada hari Ahad tanggal 14 September 2003.

Terletak sekitar 100 meter di depan Bab Zuwayla terdapat “Masjid al-Shalih Thala'i” yang dibangun pada tahun 1160 M oleh amir Shalih Thala'i bin Razik. Masjid ini dibangun dengan bentuk memanjang di atas bangunan bawah tanah. Maka masjid ini dijuluki sebagai salah satu masjid gantung atau “masâjid al-mu'allaqah”.

Demikianlah sekelumit penelusuran di beberapa ruas Islamic Cairo yang terdapat di sekitar kawasan Kairo Fathimiyyah. Sebagaimana yang tercatat di bagian atas tulisan ini, Kairo terlalu kaya dengan peninggalan sejarah dan kebudayaannya, sehingga tidak dapat kita jelajahi dalam waktu sekejap mata. Tentunya kita akan membutuhkan cukup tenaga, waktu maupun biaya untuk dapat mengakrabi kota Kairo secara detail, lengkap dengan data-data sejarahnya. Maka selamat membaca, menjelajah dan mencicipi aroma kekayaan sejarah sang kota tua, kota seribu menara!.[]

*Untuk melihat foto-foto kawasan Kairo Fathimiyyah, silahkan buka di sini!

0 comments: